Tiga.. empat..
lima.. detik berlalu. Begitu saja. Wajahmu masih menjadi satu-satunya objek yang dapat membuatku hilang kata-kata.
Cantik, dan sungguh aku ingin memandangimu terus-menerus tanpa
diusik. Kepalaku rasanya ingin kutampar bolak-balik, leherku ingin kucekik.
“Hey, kenapa?” Tanyamu, membuat aku mesti susah payah
menyembunyikan rasa malu.
Ah, wanita. Bahkan dua kata yang kau lontarkan membuatku
merasa hendak menggenggam samudra.
“Ada yang salah ya di mukaku?” Tanyamu lagi.
“Ngg.. nggak, nggak ada. Bukunya bagus.” Jawabku, sedikit
ragu. Satu-satunya hal yang salah di wajahmu adalah kenyataan bahwa Tuhan
menciptakannya begitu sempurna, setidaknya begitu yang tertangkap bola mataku.
Lalu kau tertawa dan melanjutkan membaca. Aku menundukkan
kepala, berusaha mencerna kata demi kata yang tercetak pada buku bersampul biru
tua. Seharusnya, cintaku jatuh pada buku dan tulisan saja. Lebih mudah, jelas
tidak perlu rumit menghadapinya.
Sejak kapan aku jadi puitis begini, aku ingin muntah saja.
Tiga.. empat.. lima… menit berlalu. Kita masih bisu
menenggelamkan diri dalam tumpuk demi tumpuk buku. Koreksi, hanya kau, tidak
aku. Karena mataku sesekali diam-diam mencuri lihat sosokmu. Sesekali ingin
kuserapah perputaran dunia, sebab menjatuhkan kamu di tempat ini – yang dulunya
kusebut surga. Kini, aku harus melihatmu setidaknya seminggu dua kali, dan sejak
itu aku mengklaim, perpustakaan ini adalah jelmaan neraka.
Ya Tuhan, memendam rasa tidak pernah menjadi pekerjaan yang
menyenangkan.
Namun rupanya dunia tak berhenti bermain sampai di situ saja,
kau tahu? Entah sebab apa, kala itu kau menegurku. Kau bilang tertarik dengan
buku yang kupegang, dan meminta izin untuk meminjamnya setelahku. Tentu saja
aku langsung mengangguk bak kerbau dicucuk hidung, dan hatiku tanpa diperintah
seketika bersenandung. Dan itulah hari dimana pertama kali kita membuat janji
untuk bertemu di tempat ini lagi. Yang sesekali memaksa kita lanjut berjalan
kaki menuju kedai kopi, menceritakan inci demi inci buku yang tadi kita kuliti.
Membahasnya satu persatu seolah tidak ada hal lain yang bisa dibicarakan selain
karakter-karakter mempesona, ending-ending mengejutkan, bait demi bait kata yang
membuatmu berdecak kagum sepenuh ujung kaki hingga kepala.
Wahai nona, mencintaimupun membuat aku merasakan hal yang
sama.
Tiga, empat, lima… jam berlalu. Aku tak habis pikir bagaimana
bisa kau begitu betah hanya duduk dan membaca saja. Ya, memang ada kalanya kau
tiba-tiba meletakkan bukumu dan beralih ke layar telepon genggam, mungkin penat
dengan lembar-lembar kertas yang terus-terus kau pandangi. Atau ada orang yang
harus kau hubungi, mungkin memberi tahu bahwa kau masih akan tinggal di sini
sebentar lagi. Entahlah, apa yang kutahu tentang kau selain fakta bahwa kau
adalah gadis yang sungguh gila membaca.
Gadis yang rupa-rupanya sanggup menyerap atensiku sejiwa
seraga.
Tiga.. empat.. lima.. ha……, ah, hari, Tiga empat lima hari
aku akan menemuimu kembali. Dan kepalaku akan memutar lagu yang sama, memainkan
tiga empat lima berikutnya, tentu saja hanya di benakku sendiri. Yang sekejap
menjadi tiga, empat, lima minggu dalam satu kedipan. Tiga, empat, lima, bulan.
Terus begitu, hingga entah kapan lelah ini tak mampu lagi menahan.
Tak bisa kukatakan segenap rasa ini juwita, sebab kekasihmu
tak pernah sekalipun alpa menjemputmu, tepat ketika buku terakhirmu genap
dibaca. Aku, si bodoh ini, hanya akan menjadi lelaki yang mencintaimu sambil
berhitung tiga, empat, lima.
Sebab saat bersamamu, rasa-rasanya aku lupa segenap angka,
dan hanya mengingat tiga, empat, dan lima.