"Udah nunggu lama, eh?” aku menyapanya dari belakang. Ia sontak menoleh, melepas earphone di telinganya yang kutahu hanya asesori agar ia punya alasan untuk tak berbicara dengan orang lain. He doesn’t bother talking to stranger, so he always uses his earphone eventhough there are no songs playing on his phone.
Sigh, I know him too well.
Ia menaikkan alis –bukannya mengangguk– yang berarti ‘Iya, udah lama sampe aku mati bosen.’ But none of those words came from his mouth. He hardly complain. Hell, he never does.
“Maaf ya, tadi muridku ada yang telat dijemput, trus mereka ngajak ngegames. Trus heboh pada nggak mau pulang.” Aku menjelaskan alasan keterlambatanku, bukan untuk dia mengerti, tapi hanya agar dia tahu.
“Ga papa, I like being here anyway. Jadi, ke mana kita sekarang?” Jawabnya santai.
“Aku lapar.”
“Oke, yuk makan. Hmm, sate kambing?”
“Sate kambing.” Aku mengangguk setuju.
Cukup sepuluh menit di perjalanan dan kami pun sampai di kedai sate favorit kami. Iya, kami. Meskipun ia ‘semi-vegetarian’ –begitu kataku, karena ia tak terlalu suka makan daging– , tapi sate di sini memang enak, dan kurasa ia pun menyukainya.
“Sate kambing setengah porsi, sate ayam seporsi, bumbu kacang.” Aku memesan sementara ia mencari tempat duduk. Otomatis begitu, setiap kali kami makan berdua. Ia sudah hapal pesananku, namun ia selalu bingung saat harus memesan makanan. Lagipula berbicara dengan orang lain adalah satu dari beberapa hal yang dihindarinya. Si canggung, julukku. Sedangkan aku sulit menentukan tempat duduk; kadang aku ingin di pinggir, kadang aku senang di tengah. Sehingga seringnya aku bingung sendiri. Si tidak berpendirian, juluknya.
“Aku udah lama nggak makan sate. Kangen.” Kataku sembari menarik kursi tempatku duduk.
“Bukannya minggu lalu kita baru dari sini?”
“Seminggu itu masuk kategori lama.” Jelasku, membuatnya terbahak. Tawa dengan geligi rapat dan beberapa dehem di antaranya. Tawa yang tak pernah bosan kulihat.
“Aku nggak terlalu suka daging, jadi..”
“I know.” Potongku, “Dan ga suka kambing. Padahal sate kambing di sini itu sate yang paling enak sejagat raya.” Kataku, hiperbolis.
“Kambing is an overpriced meat. Dan baunya nggak enak.”
“Oh, here we go again with this kambing baunya nggak enak, Come on, Tri. Setelah jadi sate, baunya jadi enak”
“It still smells the same.”
Aku menyerah. Kami telah berdebat mengenai ini ribuan kali. Aku jadi teringat pertama kali ia kuajak ke tempat ini, dahinya berkerut dan ia menyeletuk, “Ini tempat penyiksaan hewan.” Saat kutanya kenapa, ia menjawab, “Coba bayangkan, karena tempat ini, ada berapa ekor ayam, kambing, sapi, dibunuh setiap hari? Kasian.”
Aku ingat tertawa mengejek setelah mendengar jawaban itu, yang kutimpali dengan, “Oh, tapi aku nggak pernah liat kamu kasian waktu makan ayam goreng KFC.” Dan dia hanya mengeluarkan tampang ‘hehe, ya abisnya KFC enak..’-nya yang benar-benar manis. Sudah tujuh tahun dan masih terekam jelas di kepalaku adegan satu itu.
Pesanan kami datang dan sekejap saja argumen tadi terlupakan. Aku menatap dengan bahagia setengah porsi sate kambing di hadapanku. Satrio dengan kalem menaburi sate ayamnya dengan bawang goreng dan jeruk nipis. Oh ya, lelaki di depanku ini bernama Satrio. Ia ogah dipanggil ‘Sat’ karena itu seperti panggilan untuk ‘bangsat’, dan ia tak mau dipanggil ‘Yo’ karena dia bilang tidak ada huruf ‘y’ di namanya. Itulah kenapa aku memanggilnya ‘Tri’. Manusia satu ini memang sungguh aneh. Mempermasalahkan hal-hal yang menurut sebagian besar orang tak lazim dipermasalahkan. Tapi tak apa, aku sudah terbiasa.
“Gimana tadi ngajarnya?” Ia bertanya di sela denting-denting garpu yang beradu dengan piring-piring kami.
“It was fun. It is always, fun.” Koreksiku, “Oh, tadi ada kejadian seru. Ada satu anak yang bawa sumpelan kapas dari rumah. Banyaak banget. Trus dibagi-bagiin ke seluruh anak di kelas. Waktu ditanya buat apa, dia bilang, ‘supaya kita tau rasanya jadi Denis, Miss. Jadi mereka nggak ketawa kalau Denis salah denger omongan Miss.’ Lalu dia bikin semua orang pake sumpelan kapas, dan jadilah seharian tadi aku ngajarnya teriak-teriak.”
Satrio tertawa lepas. Kali ini cukup lama sebelum ia berkomentar, “Itu Dea ya? Hahaha, masuk akal sih kalau dia gitu.”
“Whoa, kamu inget namanya?”
“Inget lah. Kan kamu pernah cerita, aku ingat karna dia Koleris banget anaknya. Hahaha.” Ia tertawa lagi.
Aku merasa kenyang cukup dengan menontonnya tertawa. Sungguh.
“Kamu selalu melabeli orang deh. Koleris lah, Melankolis lah, Phlegmatis lah.”
“Ya setiap orang punya sifat-sifat itu, dan sebagian orang punya salah satu sifat yang terlalu dominan, begitu ngeliatnya aja langsung tau.”
“Iya.. kayak kata kamu, aku sangat Sanguinis.”
“Memang.”
“Tapi aku ga suka dilabelin. Dan label dari kamu buat aku tuh terlalu banyak. Si Sanguinis, Si Tidak-Berpendirian, Si Sinis-Optimis, uhm.. apalagi ya.. oh iya, A Coffee-Cup-Possesive, cuma karna aku marah tiap ada yang pake gelas kopi aku. Dan.. ah, kamu bahkan pernah ngejulukin aku The-Miss-Yes dan Sang Ibu-Peri-Sejuta-Umat cuma gara-gara aku ga bisa nolak tiap ada yang minta tolong.” Protesku.
“Tapi emang benar kan?”
“Iya sih. Aku kan nggak enakan orangnya.”
“Okay Miss-Not-So-Good-at-Arguing.” Ledeknya.
“Well, here comes the new label.” Aku menghela napas.
“Don’t you like it? Padahal aku mau nambah lagi satu label.” Ia tertawa geli. Wajah siap meledeknya sudah terbaca jelas.
“Apa?”
“Mrs. Satrio.”
Wait…..what?
Aku terhenyak, meletakkan setusuk sate kambing yang tadinya siap kutelan. Tenggelam dalam perasaan kaget dan senang. Kepalaku berusaha memproses dua kata yang barusan diucapkannya.
“Tunggu, kamu bilang apa tadi?”
“Oh, kurang jelas ya? Mrs. Satrio. Nyonya Satrio.”
“I know what that means.”
“If ‘I know what that means’ means you’re accepting my proposal and agree to be a wife of mine, than we share the same definition, Miss.”
Aku masih terperangah. Laki-laki ini…..
Aku buru-buru menepis angan-angan tinggi dan menekan dalam-dalam kebahagiaan serta rasa terkejut yang belum hilang, aku berusaha logis dan mempertahankan kewarasanku, “So, you are proposing me. Just because you want to add a new label. For me. Huh?”
“Yes I am proposing. And yes I want to add ‘that’ new label for you. But it is certainly not a 'just because’… aku udah mikir panjang-panjang sebelum akhirnya memutuskan akan menyemati kamu dengan label itu.”
“Mikir panjang-panjang? Kapan? Di sepuluh menit perjalanan dari sekolah ke sini?” Kataku, masih tak jelas.
“Duh, Anya. You think? Mikir panjang-panjang, sepanjang tujuh tahun kita sama-sama. Sebagai teman. Sebagai teman yang lebih dari teman –atau entah apalah menurut kamu yang kita jalani selama ini. Dan aku gak menemukan orang lain lagi yang pas buat aku selain kamu, serta yang pas buat kamu selain aku.”
“Wow, pede banget kamu.” Tanpa sadar, pipiku terasa panas, yang kuyakin akan memerah meski tak kububuh blush-on tadi sebelum mengajar.
“Bukannya pede. Tapi itu kenyataannya kan? Ya, siapa lagi sih yang siap sedia dengerin kamu ngomong berjam-jam tentang hal yang seringnya sama, tapi nggak ngeluh sedikitpun? Dan siapa lagi yang paham kalau aku bukannya sombong atau cuek, aku cuma ga senang ngomong sama orang yang menurutku pointless and ain’t worth my time. Kamu pasti tau kan tadi aku nggak muter lagu apa-apa eventhough I put my earphone on? Cuma kamu yang tau. And we still stick with each other.”
Aku tergamam, tak dapat membantah sedikitpun kata-katanya. Seluruh ucapannya benar. Setiap kalimat, setiap kata. Aku bahkan tak bisa mengelak dari kata-kata ‘and we still stick with each other’ cause yes, after all, after these seven years, I never really leave his side. So does he.
“Jadi gimana? Is it a deal?” Katanya, memecah kesunyian yang kubangun dengan lamunan-lamunanku. Ia masih makan dengan rileks tanpa beban sementara aku masih shock hingga sate kambing favoritku tak tersentuh sedikitpun.
“Tapi….” Aku menggumam ragu.
“Tapi kenapa?” He’s looking me right at my eyes.
Napasku tertahan.
“You don’t know who I am. I’m not a good person.”
“I know you enough that I’ve decided you are the best for me. Dan ga ada bad person yang tahan ngajar kelas anak-anak berkebutuhan khusus.”
“Ha, and I’m not good at cooking. You said you want a wife who cooks well.”
“I like your nasi goreng. You’re good at making coffee. And I know you will learn eventually, no worries.”
Okay, he’s right.
“And uhm, I’m needy and clingy, I thought you are aware of that.”
“You’re not. You just love to have a company.”
“And I am an insecure bitch, jangan lupa.”
“It’s a woman’s basic need, to feel secured.” Jawabnya tenang.
Aku berdecak mendengar respon yang ia berikan, “I love how logical you are.” Tukasku, antara kesal dan kagum.
“Haha, coba buang ‘how’, ‘logical’ dan ‘are’nya. It would sound better.”
“Err.. I… love you?” Jawabku, refleks.
“I know. So it’s a ‘yes’ then. Congratulation us!”
Dia tersenyum puas.
setelah tujuh tahun
by
Isma Hadiatmaja
on
11:27:00 AM
"Udah nunggu lama, eh?” aku menyapanya dari belakang. Ia sontak menoleh, melepas earphone di telinganya yang kutahu hanya ase...