3 months after
When we are apart from the
ones we love, we could use doing little things they used to do just to make us
feel like they are close to us. As easy as listening to the same radio station
they used to listen every morning while being stuck on the traffic: reading the
same book they used to read before sleep, using coin as its bookmark;
watching the same series they have been following even when you’re not really
into them. We do those things over and over until we really meet them, just
because we need to feel their presence in our live.
Itulah yang sedang Anya lakukan seminggu belakangan. Menghadirkan Banyu
dalam kesehariannya melalui hal-hal kecil yang biasa dilakukannya. Jika
tertarik pada satu lagu, Banyu senang sekali memutar lagu tersebut di handphonenya berulang-ulang sampai muak,
untuk kemudian akhirnya menyukai satu lagu lain dan mengulang siklus yang sama.
Itu sebab seminggu ini Ellie Goulding –
On My Mind jadi satu-satunya lagu yang menggema dari speaker ponsel Anya,
dan ia belum muak. Banyu senang sekali memotong makanan kecil-kecil sebelum
dimakan, apapun itu bentuk makanannya –kecuali nasi- maka Anya pun memotong
kecil-kecil pisang goreng susunya sebelum memakan, walau sebetulnya Anya lebih
suka menggigit dan mengunyahnya langsung. Banyu selalu menjentikkan jari
sebelum mulai menulis sesuatu, maka Anya pun melakukan hal yang sama hingga
akhirnya kebiasaan itu melekat padanya. Atau mengulang kata yang sering Banyu
katakan semacam ‘santailaah’, dengan nada tertentu yang Anya hapal betul. Anya
melakukan itu semua.
Tapi tentu saja ada beberapa hal yang Banyu biasa lakukan, yang tak bisa
ia lakukan. Seperti mengedikkan kepala ke bahu –memberikan tanda buat Anya
untuk bersandar di bahunya- tiap kali Anya merasa lelah dan buntu. Atau mencium
rokok sebelum membakarnya, menghisapnya dua kali lalu mematikan dan
membuangnya. Satu-satunya kebiasaan Banyu yang ditentang Anya. Banyu butuh
nikotin sama seperti Anya butuh kafein.
Bukan bendanya, tapi isinya. Kamu suka kopi walau kamu tau itu nggak baik buat kamu, karna kamu butuh kafeinnya bukan ngopi-nya. Ya apa bedanya sama aku, Nya?
Kalimat Banyu itu mengiang di kepala Anya; kalimat yang membuat Anya selalu kalah suara perkara kebiasaan merokok-dua-hisap itu.
Kadang Anya membalas dengan, “That is so freakin bullshit Nyu. Nikotin nggak baik buat kamu.” Yang dibantah Banyu dengan, “Kafein juga nggak baik Nya. Apalagi kalo udah addict kayak kamu.”
Bukan bendanya, tapi isinya. Kamu suka kopi walau kamu tau itu nggak baik buat kamu, karna kamu butuh kafeinnya bukan ngopi-nya. Ya apa bedanya sama aku, Nya?
Kalimat Banyu itu mengiang di kepala Anya; kalimat yang membuat Anya selalu kalah suara perkara kebiasaan merokok-dua-hisap itu.
Kadang Anya membalas dengan, “That is so freakin bullshit Nyu. Nikotin nggak baik buat kamu.” Yang dibantah Banyu dengan, “Kafein juga nggak baik Nya. Apalagi kalo udah addict kayak kamu.”
“Ya tapi kafein secara ilmiah udah terbukti ada efeknya ke otak. Ningkatin
konsentrasi, ya wajarlah aku butuh.”
“Nikotin bikin aku tenang, Nya.”
“Itu sugesti kamu, Nyu.”
“Anyaku…,” panggilan yang tak pernah
tidak membuat Anya tersenyum, omong-omong. “…kalau memang ningkatin
konsentrasi cuma bisa pake kafein, mungkin hampir semua orang di dunia ini
ngopi kayak minum air putih. Tapi mereka nggak, dan kamu iya. Itu bukan sugesti
namanya?”
“Ya…”
“Udah ya ceramah rokok nggak baiknya. Aku tau kamu peduli sama aku, tapi
cuma dua hisap bukan dua bungkus…what would probably happen to my lung, Nya?
Mereka kuat kok napas buat aku sampai kita menua berdua jadi ompong sama-sama.”
Cheesy, tapi selalu berhasil menggantikan
sesi debat dengan yang tawa lepas yang hangat.
Hal itulah yang tak bisa Anya lakukan, karena hanya Banyu yang bisa. Dan
itu membuat Anya rindu.
Anya tidak tahu apakah ia merindukan orangnya, atau momennya.
Atau, justru rindu perasaan merindukannya.
***
“Stuck ya? Kamu mikirnya pendek
sih. Main solitaire jangan buru-buru. Nya.”
Komentar itu membuat Anya terkesiap. Ia menoleh ke arah belakang, sumber
suara itu datang. Suara yang nyaris tak pernah didengarnya lagi sama sekali,
dan yang ia kira tak akan pernah didengarnya lagi.
“Kok bengong? Itu loh, coba kamu pindahin jack nya ke atas dulu. Terus
kamu pindahin delapan jambunya ke sembilan wajik. Nah, tujuh keriting turunin
deh. Habis itu..”
“Wait wait,” Anya menarik handphonenya, “Kok jadi nyelak aku gini
sih? Aku kan lagi main. Kok jadi nimbrung?” repetnya sok galak.
Yang diomel malah tertawa, “Hahaha.. Nya, aku gemes liatnya. Restart game
berkali-kali tapi langkah yang diambil itu-itu lagi. Coba sini aku mau liat game
statsnya, pasti kamu banyakan kalahnya daripada menang.”
“Sori yeee,” secara spontan Anya menunjukkan game statsnya, menampilkan Score: 72, Wins: 76, Losses: 52, Rate: 59%,
Win streaks: 13., “Ini 56 kali kalah semuanya karna aku nggak konsen. Sama
kayak sekarang, lagi ga konsen makanya kalah terus.”
“Hmm iya..iya percaya. Pasti 76 kali menang bukan kamu yang main.”
Anya baru saja akan menjawab, lelaki itu buru-buru mengacungkan 2 jari
membentuk tanda peace, “Becanda,
Anya. Hahaha.. kayak nggak kenal aku aja.”
We barely know each other,
please deh. Anya membatin.
“Ngapain di sini Nya?”
“Ganti tempered glass tab. Tau
tuh lama banget mbak-mbaknya. Ampe bosen, yaudah maenan solitaire.”
“Hahaha.. segitu serius main sampe nggak sadar ya aku daritadi ngeliatin?”
Gila ni orang gombalnya. Anya membatin lagi. “Kamu
ngapain emangnya?”
“Aku ke sini nyinggah beli pulsa, eh ada kamu lagi khusyuk kan jadi pengen
gangguin.”
“Hahaha.. iya makasih ya udah ganggu, aku seneng banget.”
“Hahaha.. so, why solitaire, Nya?”
“Maksudnya?”
“Ada banyak yang bisa dilakukan kalo lagi nunggu sesuatu, tapi baru kali
ini aku ngeliat orang nunggu sambil main solitaire.”
“Oh…” Anya menaikkan alisnya. Karna
ini kebiasaannya si Banyu. Dan iya
sih yang biasanya mainin solitairenya juga dia, hence the win streaks…
Tapi tentu saja itu tak keluar dari mulut Anya, “Adanya ini doang di handphone.”
“I was expecting a wiser answer tadinya hahahaha, ternyata..”
“Hahaha what wiser answer?”
“Misalnya, karna kamu tau filosofinya gitu.”
“Loh ada filosofinya emang?”
“Loh kamu ga tau?”
Anya menggeleng kuat, penasaran.
“Aku juga nggak tau. Nyebut aja tadi.”
Anya hampir saja melayangkan tinjunya; lelaki di depannya membuat tameng
menggunakan kedua lengannya kemudian tertawa.
“Hahaha.. becanda, Nya becanda. Iya itu ada filosofinya. Jadi game
solitaire itu dulunya disebut patience.
Karena mainnya butuh kesabaran. Sama kayak nunggu, jadi yaa aku pikir gitulah.
Nunggu, solitaire, sama-sama butuh sabar. Begitu.”
“Ini kamu becanda?”
“Do I look like joking?” Ia
tertawa, “Gila ini aku serius aja kamu bilang becanda Nya..”
“Ya abisnya… tapi serius itu gitu filosofinya?”
“Iya, ya ampun ga percaya banget deh. Cek deh di internet kalo nggak
percaya.”
“Iya iya aku percaya.”
“Jadi..gimana kedokteran, Nya? Seru?”
Anya otomatis menghela nafas berat, “Haaah…seru kalo kamu rela masa muda
kamu diisi dengan ujian tiap dua minggu sekali. Dan otak kamu diisi sama hapalan
sebanyak ratusan, eh, ribuan materi kuliah.”
“Tapi nanti kalo udah jadi dokter kan enak Nya.”
“Iya, naaaantiiiiiiiiiiiiiiiiiiii.” Jawab Anya, membuka tangannya lebar-lebar,
menunjukkan bahwa waktu nanti itu masih sangat lama.
“Hahaha, berarti sekolah kedokteran itu kurang lebih main solitaire ya?
Butuh sabar.”
“Ya, bisa bisa hahaha. Kamu gimana? Udah puas begadang selama kuliah
arsitek?”
“Yaaa…begitulah. Udah nggak tidur bikin project trus pas dipresentasiin eh
disuruh ulang. Nggak tidur lagi, nggak tidur terus. Siklus hidup lagi gitu aja.”
“Ckckckck, nasib kamu deh ya.”
“Nggak papa sih. Nya. I like it, tho.
Biar ada yang dikerjain di rumah. Lagian yang namanya tugas mah, enak nggak
enak harus dilakuin. Dibawa enjoy aja sih jadi ga berasa.”
Anya memberi applause kecil, “Wiih..
hebat ya bapak, speech yang luar
biasa.”
Mereka berdua tertawa.
“Eh Nya, itu kayaknya tabletnya udah selesai deh.”
Anya menoleh ke belakang, melihat ke arah mbak-mbak memberi kode bahwa
tabletnya sudah selesai dikerjakan.
“Eh iya, bentar ya.”
Anya mengecek tabletnya, mengusap-usap layar tabletnya yang kini terlihat
bersih, membayar dan memberi ucapan terima kasih.
“Mau cabut nih. Kamu nggak balik? Mau kerja di sini apa gimana?”
Lelaki tersebut tertawa, “Ya nggaklah, hahaha. Ini mau balik juga. Duluan
aja Nya, aku nyari earphone dulu.” Katanya
sembari mengorek isi tas punggung berwarna abu-abu hitamnya.
“Oke deh, byee.”
“Byee.”
Anya melambaikan tangan, berjalan menuju pintu luar, membuka pintunya..
“Nya..”
Ia sontak berbalik, “Yaa?”
“Long time no see ya? Padahal
rumah deket.”
Err…what does that mean?
“Hahaha iya… mungkin itu filosofinya.” Jawab Anya.
“Maksudnya?”
“Nggak kerasa udah tiga bulan dari kita ketemu pas daftar ulang. Rumah
deket, satu universitas. Mungkin emang disuruh nunggu buat bisa ketemu lagi.”
“Iya.. filosofinya?”
“Patience, grasshopper.” Anya
tertawa kecil. Good things come to those
who wait. Sambungnya dalam hati, mengutip quotes Cassandra Clare dalam buku
City of Glass; buku yang akhir-akhir ini dibacanya berkali-kali sampai kumal
saking senangnya ia dengan buku ketiga dari serial The Mortal Instrument tersebut.
“Bye, Nya.”
“Bye.”
“Lain kali mainnya jangan buru-buru ya Nya, bebasin dulu AS sama angka
yang kecil-kecil. Jangan main pindah-pindahin aja.”
“Iya makasih ya nasihatnya. Berguna banget.” Sahutnya dengan nada
menyindir.
“Hahaha….daah.”
“Daah.” Anya menarik nafas, “Kali ini terakhir, daah.” Ia melambaikan
tangannya, berbalik, membuka pintu dan tak lagi melihat ke belakang.
Senyumnya mengembang. Sebetulnya ia sungguh ingin.
***
“Nunggu.., solitaire....,
sama-sama butuh sabar.” Kata-kata Satrio masih menggaung di kepala Anya beberapa hari setelah
pertemuan mereka. Ia tercenung memandangi pisang goreng susu yang
dipotong-potongnya untuk sarapan pagi ini, melayangkankan pikirannya pada
Banyu. Mengingat cintanya itu.
Menunggu, solitaire – keduanya sama-sama
tak mungkin tidak membuatnya teringat akan lelaki yang dicintainya
bertahun-tahun itu. Lelaki pecinta solitaire yang ia cintai sampai mau mati, yang dengan seenaknya pergi dari
kehidupannya. Tanpa tedeng aling-aling.
Lelaki yang minggu-minggu ini memenuhi
segenap sel otaknya, yang tak menyediakan sehela napas pun tanpa membuatnya
merindu.
Atau, yang ia pikir begitu.
Pertemuannya dengan Satrio tempo lalu membuatnya berpikir, jika ia perlu ‘menghadirkan Banyu’ dengan
melakukan kebiasaan-kebiasaan kecilnya, bukankah itu berarti sebetulnya Banyu
sudah ‘pergi’? Sudah ‘tidak ada lagi’?
Dan cara terbaik untuk mengetahui seseorang telah terusir dalam hati
adalah ketika ada orang lain masuk dengan atau tanpa permisi.
Bagi Anya, Satrio adalah orangnya. Si kurang ajar yang sudah ‘kulonuwun’ tanpa
ia sadari.
Good things come to those
people who wait. Selama ini Anya selalu berpikir, Banyu adalah ‘good things’ yang pantas
ia tunggu. Karena itu ia menunggu.
Namun kesabarannya, ternyata membuahkan sesuatu yang lain.
Sesuatu yang jauh lebih baik.
Koreksi, seseorang.
Satrioooo~~~ It's been a long time x") hahaa..
ReplyDeleteReally nice one ayy, di chapter(?) ini bisa tau masa lalu Anya yg belum pernah diceritain, satu yg Anya mesti sadar mungkin yh, benar dia emg udah berhasil lupain Banyu di detik dia ngelakuin kebiasaannya tanpa ada perasaan apa2, awalnya mgkn iya, tapi makin kesini it's like become her habit now, not 'his habit' anymore (not to mention move on-nya ada campur tangan si Satrio haha)
Daan, as usual Satrio never fails to amaze me lewat kata-kata keceh~~ Boleh nih sekali2 ceritain story-nya Satrio jugaa.. XD
ps. sempat sekaliii nulis di tengah hecticnya stase anak.. lol.. semangaaatt <3
awww terharuuu :"))) makasih yaa udah jadi pembaca setia dan fans satrio huahahhaha. Okeeh ditampung yah aayy, ntar diceritain juga sudut pandang satrionyaa x))
ReplyDeletebtw iya nulis di tengah hectic karna udah stuck ngerjain morning report x')))