Ada badai di kepalaku
tegal lalai mengirup kopi

Ada badai di hatiku
lepas kau pergi tadi pagi

dua badai

by on 11:28:00 AM
Ada badai di kepalaku tegal lalai mengirup kopi Ada badai di hatiku lepas kau pergi tadi pagi



You feel at best when you’re home, they said. Let me scratch that specific phrase, a home. Not a house. Because a house, your house, is not always your home. House is a building while home is a soul.
Bukan kataku, itu kata Anya. Perempuan yang membuatku duduk menunggu di atas motor saat ini, menantinya selesai mengajar. Aku melihat ke arah jam tangan, ia seharusnya sudah selesai sekarang namun tak ada tanda-tanda kelasnya akan berakhir. Ia pasti keasyikan di dalam. Tak masalah, aku lebih senang menunggu di sini, memerhatikan anak-anak yang bermain setelah kelas usai, atau para orangtua yang menunggui anaknya dengan sabar dibandingkan harus mendekam di rumah.

Walaupun aku anak rumahan, lagi-lagi menurut Anya. Anak rumahan yang tak suka di rumah, kalau boleh kutambahkan.

“Kenapa sih emangnya? Kenapa nggak suka di rumah?”
Aku mengingat pertanyaan wanita bertubuh mungil itu. I didn’t have a precise answer at that moment she asked the question. But now I do.
I don’t feel like home at my very house. I dislike it, going through the front door to a wide empty living room, with a 42-inch-size flat TV. Lengkap dengan TV kabel dan DVD set sehingga aku bisa menonton siaran apapun yang kumau. To cold kitchen and vacant dining, tanpa nasi panas yang mengepul dari dalam dandang. I always have meals outside. Oh, wait, bukan cuma aku, my whole family does.
Sorry nih sebelumnya, but I really want to ask. Kamu dari keluarga broken home?”
Masih dapat kubayangkan wajah takut-takut-penasaran Anya ketika menanyakan pertanyaan itu untuk pertama kalinya setelah aku bercerita tentang ketidak-sukaanku akan rumah.
No, I am not. My parents have a wonderful marriage. They rarely fight about anything, you know.”
I thought it’s a good thing, no?”
Yes, and they thought so. But how should they fight, they don’t even talk to each other.”
Ekspresi wajah Anya berubah drastis. For a big girl, she’s quite expressive. Lucu.
Never?”
Ever. They’ve stopped talking since long time ago. My Dad is busy being busy. My Mom became so lonely that she’s busy trying to look busy.” Aku memberi penekanan pada kata ‘trying’, “So busy that they forgot I’m not that busy.” Aku tertawa di akhir kalimat. Ironical laughter.
Why did that happen? Kalo boleh tahu loh.”
“Hmm…. My Mom married my Dad because he looks good on paper. He fits her criteria. Dua puluh tujuh tahun, lulusan universitas bagus, pengusaha muda, dari keluarga baik-baik. Dan bokap nggak jelek juga kan, haha. And my Dad married her because she meets his requirements as a wife. Perempuan baik-baik, pinter, bisa masak, cantik. Kurang apa?”
Dia tak menjawab, masih menyimak.
“Mereka emang nggak ada kekurangan, kecuali kurang cocok. Ya..gitu.” Aku mengakhiri sesi curhat, merasakan aura simpati Anya menguar-nguar dari matanya. God, she’s bad at hiding feelings.
"I feel sorry. Dan maaf aku tanya kayak gitu, sekarang jadi nyesel. Maaf ya?”
“Oh, tenang aja. Nggak papa. I’ve got used to it. You don’t have to feel sorry.”
“Eh, aku keliatan jadi kayak ngasihanin kamu ya? Duh, maaf, aku nggak bermaksud.”
“Hahaha, nggak. Really, it’s okay. I pity myself sometimes, jadi mau dikasihanin juga nggak papa, ya karena emang kasihan…. ya kecuali kamu udah nggak punya belas kasih haha..”
Dia tertawa, namun binar mata itu tidak hilang. Binar mata khawatir.

Here’s the funny thing, I don’t tell people about my family. Telling my background stories is not my thing.
 

But this one is different. She, is different. I want her to know. I want her to understand. I want her to get why I do what I did, why I decide what I decided.
Kalo aku cerita ini ke cewek-cewek lain, mereka mungkin udah kasi gesture buat pelukan ala teletubbies, atau paling nggak nepuk-nepuk lenganku, berusaha bikin beban aku hilang. But she’s not doing any of those. She just listens and concludes. And that’s enough.
That’s what I need.

Sejak saat itu, rasanya lebih mudah bercerita tentang segala hal kepadanya. Tentang kesukaanku, sudut pandangku, tentang remeh-temeh harian, tentang kebiasaanku. Afterall, she has seen me deeper than anybody else, I don’t mind talking those things to her. I trust her. A lot.
And apparently, she trusts me too.
Dih, geer ya? Haha.

Tapi memang benar, terbukti dari percakapan kala itu, yang dimulai dengan pertanyaannya “Kenapa arsitek?”
Aku menjawab, “Oh, aku perlu masuk ke jurusan yang bikin sibuk. It is my family’s little tradition, being busy.”
It was half a joke, but she didn’t laugh. She just smiled.
“Kamu kenapa masuk kedokteran? Bukannya kamu pernah bilang kamu dulu pengen banget jadi guru?” Tanyaku, penasaran juga.
“Hehe karena…guru nggak bisa jadi dokter, tapi dokter bisa jadi guru.”
“Bener juga sih.”
She paused. Setelah beberapa lama diam –yang kuyakin ia berpikir keras apakah harus bercerita atau tidak– ia lantas melanjutkan, “Being a doctor is not an option for me. It never was. But my parent wants a child who is a doctor. Dan ya…kamu tahulah dua abang dan satu adik perempuanku kayak gimana. Ngarepin mereka jadi dokter ya sama aja ngarepin salju turun di sini.”
Oh ya, aku tahu soal dua abang dan satu adik perempuannya itu. Satu abangnya menikah muda dan lebih suka berwirausaha, satu abangnya lagi senang di alam bebas, lebih suka jalan-jalan keliling Indonesia dan jadi blogger wisata. Sementara adik perempuannya....gimana yah menjelaskannya? Si rapuh yang sering sakit-sakitan, pokoknya begitu kata Anya. She has told me all those things waay before this conversation happened.
Jadi kesimpulannya, dia juga percaya sama aku. We’re in the same boat.

Begitulah seterusnya, selama bertahun-tahun. Sudah berapa lama ya? Lima..enam…tujuh? Iya, tujuh tahun dari pertama kali kami dekat. Pertama kali kami berbicara satu sama lain. Pertama kalinya aku tahu bahwa ada ratusan hal yang bergelimpang di kepalanya. Pertama kalinya aku tahu ia memiliki banyak sudut pandang yang tidak dimiliki perempuan-perempuan lain yang pernah kukenal. Pertama kalinya aku merasa, ternyata ada toh perempuan yang bisa diajak duduk berjam-jam tanpa habis bahan omongan. Meskipun dia jauh dari kriteria wanita idamanku. Jauh.

Tapi apalah artinya kriteria yang seabrek-abrek itu kalau tak bisa diajak bercakap? I don’t want my children going back to an empty house like I do.
I want my future house to be a home.

“Udah nunggu lama, eh?” sapaan Anya membuyarkan pikiranku. Kulihat jam tangan –ternyata sepuluh menit tadi kuhabisi dengan melamun. Aku melepas earpieceku –fyi, ini senjata paling ampuh untuk menghindar dari percakapan basa-basi yang tak perlu. Aku meresponnya dengan menaikkan alisku yang berarti ‘Iya, udah lama sampe aku mati bosen’ –I don’t need words, she’ll understand. Kutatap wajahnya yang dihiasi bulir-bulir peluh namun tampak bahagia, terlihat dari senyumnya yang tak putus-putus. Senyumnya yang hangat, bak perapian di rumahku yang kadangkala kunyalakan hanya agar rumahku seperti ada kehidupan.

Dan binar matanya mengingatkanku akan lampu gantung di ruang tengah rumah. Ruang kosong yang harusnya penuh. Ruang sepi yang mestinya ramai.

Suddenly, I feel like I'm home.
Suddenly, I want to take her home.

di sepuluh menit

by on 3:26:00 PM
You feel at best when you’re home, they said. Let me scratch that specific phrase, a home. Not a house. Because a house, your house, is...