petasanku kedap di dadamu*
dan rasaku hinggap di matamu
sebab matamu, bak lampion merah terang
di situlah hatiku melenggang pulang
kembang api tumpah ruah, rasaku pun meledak pecah
apakah yang demikian mesti kutanggung sendiri atau kubagi?
abu-abu kembang api berserak
layak cinta yang urung menjejak
aku dan kamu -yang lantas menjadi kita-
mengawal cinta di akhir sajak

januari 2014 | tentang kembang api dalam kepala kita di festival tahun baru cina  | *bait pertama oleh mardian sagiant dalam tweetnya di januari 2014
--

berlarilah dan terjatuh, terbang yang jauh
kembali jika kau peluh dan kapalmu butuh sauh
ada lenganku, siap merengkuh

maret, 2014 | tentang menunggumu
--

jika hatimu adalah rumah, beritahu, ke manakah langkahku ini mengarah?
jika hatimu adalah tempat berlabuh, beritahu, berapa jauh jarak yang mesti kutempuh?

maret, 2014 | tentang menjadikanmu tujuan
--

perkara rindu, aku amatlah tamak
menumpuknya, tanpa sedikitpun merasa muak

--

semestinya seseorang menasihatiku tentang 'jika'
yang mampu mendera segenap batinku, sebab
jika saja kita mampu berjalan tanpa melepas genggaman
jika saja kepalaku sanggup berhenti berangan-angan
jika saja kau sudi melihatku lebih dalam, sebab dalam diriku telah kau jumpai rasa nyaman
dan padamu, kucecapi lebih dahulu rasa aman
dan jika saja segala jika ini bukanlah hanya setumpuk jika
yang carut-marut membusuk di dalam pikiranku saja

oktober, 2014 | tentang setumpuk jika
 --

tiba-tiba aku memimpikanmu lebih sering
dan air mata ini mengenangmu hingga tak kering

november 2014 | tentang melupakan
--

kau adalah jatuh yang tak bosan kurayakan
menepilah
menetaplah

november, 2015 | tentang permintaan


--

Oh, hi folks, long time no see! I'ts been a long time eh? I barely have time to write because I am pretty much occupied by my study. Saya sudah koass soalnya, hore!
But I've got plenty free time, so, these are some poems or words that I've been collecting -from tweets, diary, halaman belakang catatan kuliah, whatever haha- they are cheesy of course, but it's nice to know I once wrote poetic things. It feels like long time, I've stopped write poetic since January this year, and I dont know why. haha.
Catch up later, see ya!
"Nya, kok melamun?"
Anya tersentak, menoleh ke arah Tasha yang memergokinya terbengong, entah sudah berapa lama.
"Iya nih, aku lagi mikir."
"Mikir apaan?"
"Tiap liat pasien tua, suami istri, aku mikir, hebat juga ya cinta. Kadang suaminya udah nggak gagah, sakit parah nggak bisa apa-apa, tapi istrinya setia ngerawat dan ngejaga. Atau kalau liat nenek-nenek tua keriput udah nggak cantik lagi, tapi suaminya masih setia duduk nunggu di sebelah."
"Haha, iya.. aku juga kadang terharu liatnya. Itu cinta apa karna udah terbiasa sama-sama ya? Semacam manisfestasi dari komitmen gitu?"
"Nggak tau juga sih, Sha. Tapi yang jelas apapun itu, aku takjub. Bisa juga ya dua orang yang sebetulnya ga punya hubungan apa-apa, dua orang yang dulunya asing, lalu mutusin buat bersama. Sampe tua, sampe sakit, senang susah, sama-sama. For better for worse.
Tasha tersenyum.
Anya melanjutkan, "Aku jadi kepikiran aja kadang, apa nanti ada yang bisa kayak gitu sama aku? Hahaha."
"Duh, kamu tuh ya Nya. Apa-apa selalu dibawa perasaan pribadi hahahaha."
Anya tertawa, pipinya menyemburat dadu.
"Abisnya gimana ya Sha.. kadang aku mikir, aku ini banyak kurangnya. Pinter nggak juga, tinggi nggak juga, cantik nggak juga. Serba pas-pasan hahaha."
"Hahaha...mulai deh pesimis. Duh Nya, kamu tuh lucu ya. Biasanya optimis banget tapi kalo lagi kambuh pesimisnya kayak idup kamu tuh susah banget hahaha." Tasha menggeleng-gelengkan kepala melihat Anya.
Anya memutar-mutar ujung stetoskopnya, pandangannya masih mengarah ke pasien tadi, "Soalnya Tasha, manusia itu pasti ada kurangnya. Aku banyak kurangnya."
Tasha tergelak, "Hahaha...Nya, inget ga, kamu pernah bilang sama aku, 'Sha, suatu saat nanti, bakalan ada orang yang menerima kita apa adanya. Dan kita terima dia apa adanya. Seseorang yang bikin kita ngerasa, waktu sama dia, kita punya kepercayaan diri. Yang bikin kita lupa kalau kita penuh kekurangan, karna apa adanya kita cukup untuk dia. Dan dia cukup untuk kita.' ...ya kan? Aku ngerasa omongan kamu bener, makanya aku inget banget. Kenapa tiba-tiba kamu jadi pesimis gini hahaha."
"Iya sih ya..." Anya memutar bola matanya, "Mungkin ini lagi masa-masanya aku jadi mikir, apa bakal beneran ada seseorang yang kayak gitu, hahaha."
"Mungkin.. emangnya nggak ada?" Tasha menjawil pipi Anya.
"Ngg.. nggak tau sih, emangnya ada?" Ia mengangkat alisnya.
Tasha tertawa, "Hahaha, yaudah deh nggak usah dipikirin. Ntar juga ada. Ayo dong, biasanya kamu yang optimis." Tasha beranjak dari duduknya, menepuk pundak Anya lantas berjalan ke arah pasien di bed seberang dari mereka duduk.

Anya menggigit bibir. Sebetulnya saat Tasha berkata tentang 'seseorang' itu, satu sosok manusia melintas di kepalanya.
Hanya beberapa detik saja.
Ia tertawa sejenak, membayangkan tawa Satrio setiap mereka bersama. Seolah-olah setiap yang ia lakukan, berharga. Seolah-olah ia tak memiliki cela. Seolah-olah kurang padanya, tak lagi ada.
Lelaki itu membuatnya merasa cukup.
Dan baginya, itu cukup.


“Pulpennya kenapa macet sih.” Anya bersungut-sungut sembari menggoyangkan pulpennya, “Tetep aja macet. Heran deh, bawa pulpen banyak banget nggak ada yang bener.” Ia mengomel sendiri.
“Kamu nulisnya di dinding, harusnya alasnya meja. Posisi pulpen kamu itu bikin tintanya susah keluar.”
Anya menoleh ke sumber suara. Seorang lelaki berjongkok di sebelahnya, menyandar ke dinding tempatnya menulis. Anya menoleh sekeliling, mengambil kardus bekas air minum yang disediakan panitia, merobeknya dan kemudian duduk di atasnya. Ia kemudian mengobrak-abrik isi tasnya, mencari sesuatu yang dapat dipakai sebagai alas.
“Nulis di lantai aja deh.” Gumamnya sendiri, menyadari tak ada satupun barang datar di tasnya, “Eh iya, nggak macet nih. Horee.” Soraknya.
 “Fisika dasar, hehe. Nulis itu harus vertikal, jangan horizontal. Kecuali kalau kamu pake pensil.”
Anya melirik formulir yang sedang diisi oleh lelaki di sebelahnya itu.
Fakultas     : Teknik
Jurusan      : Arsitektur.
Oh, pantes.
“Wih, calon dokter.” Ternyata lelaki itu juga melirik formulir miliknya.
“Haha, iya. Nyasar nih.”
“Kok gitu?”
“Mustinya aku masuk Fakultas Keguruan, jadi guru. Cita-cita dari dulu itu. Tapi yaudah sih udah terlanjur masuk di Kedokteran.”
“Masih belom telat kok buat ngerubah jurusan. Mulai aja belom, baru daftar ulang. Belom bayar kan?”
“Iya sih… tapi yaudah deh, males tes lagi. Capek.”
“Yaa jangan aja setahun dua tahun lagi kamu malah ngeluh capek gara-gara kuliah kedokteran lama nggak lulus-lulus.”
“Bener juga…. Tapi yaudahlah, udah terlanjur. Ini duit pendaftaran udah di tangan, masa iya dibalikin lagi.” Anya memutar bola matanya, “..apa aku bawa kabur aja ya…ke luar kota, ga balik-balik. Lumayan nih duitnya..”
Lelaki tadi tergelak, “Bisa aja..”
“Ciyee arsitek. Nanti kalo aku mau bikin rumah bisa dong minta buatin kamu?”
“Bisa..tapi harga temen justru dua kali lipat ya..”
“Lah emang kita temen?”
“Oh iya, lupa.”
“Aku suka liat arsitek, kemana-mana bawa-bawa tabung. Kayaknya keren.”
“Kamu juga keren nanti kemana-mana bawa stetoskop.”
“Ya nggak kemana-mana juga kali. Masa iya jalan ke Mall bawa stetoskop, dikira sinting nanti.”
“Ya sama. Aku nggak kemana-mana bawa tabung juga kali, sinting apa. Hahahah.”
“Ergh iya. Kok omongan kamu bener semua gitu sih.”
“Nggak semuanya, tadi itu yang temen, aku salah. Kita kan nggak temenan.”
“Oh iya, yaudah kita temenan ya. Susah ya jaman sekarang apa-apa musti dikasih label.”
“Haha, biar jelas aja. Tadi kamu sendiri kan yang bilang kita bukan temenan.”
“Ya maksudnya kan..kita baru aja ketemu. Bukan udah lama kenal. Ibaratnya nih, kalo main sims, status relationshipnya masih ‘acquintances’ belom ‘friends’. Kalo ketemu cuma senyum, kalo udah friends kan dadah-dadah.”
Ia tertawa lagi, “Hahaha, tuh itu kamu barusan ngasih label.”
“Iya sih. Duh. Kemakan omongan sendiri. Susah ya ngomong sama kamu.”
“Nggak susah, buktinya daritadi kamu ngomong terus.”
Anya memandanginya dongkol.
“Persepktif, hehe.” Lelaki tersebut mengacungkan dua jarinya, membentuk simbol peace.
“Gila ini rame banget antriannya, masih urutan 160, aku urutan 198. Nyesel deh datengnya lama.”
“Ya nggak papalah. Dibawa ngobrol juga nggak berasa.”
“Kamu urutan berapa?”
“162. Bentar lagi nih.”
“Enak ih. Harusnya ya..daftar ulang pake online aja. Kenapalah musti dateng antri begini, nyusahin aja. Sekarang jaman kan udah canggih.”
“Iya, trus websitenya down gara-gara banyak yang buka, trus ada yang telat daftar trus ga jadi masuk trus ngomel-ngomel. Salah lagi..”
“Bener juga sih..”
“Manusia itu emang susah puas sih ya.”
“Itu nyindir?” Anya mendelik sok sebal.
“Cuma ngomong, perspektif, duh.”
“Hahaha, iya-iya. Kamu asal sini?”
“Iya. Kamu?”
“Sama..”
“Tinggal di mana?”
“Di Jalan Penjara, tengah kota.”
“Kok kita nggak pernah ketemu? Aku juga daerah situ. Ahmad Dahlan.”
“Lah ini ketemu.”
“Eh iya sih, maksudnya di situ…”
“Hahaha, persepktif.” Anya terkekeh membalas.
Ia terbahak, “Jago ngebalikin omongan orang ya kamu.”
“Biarin, emangnya cuma kamu aja yang bisa hahaha.”
Mereka tertawa berbarengan.
“Eh udah nomer 161 nih, aku ke sana ya?” Lelaki tersebut berdiri, mengemaskan barang-barangnya dan mengeluarkan berkas-berkas yang diperlukan dari dalam tasnya.
“Oke.”
“Bye, Anya.”
“Kok kamu tau nama aku?”
“Lah itu..” Ia menunjuk formulir yang dipegang Anya.
“Oh iya.” Anya menepuk dahinya.
“Yaudah, bye..”
“Eh, nama kamu siapa hoy? Aku nggak ngintip formulir kamu tadi.” Teriak Anya sebelum lelaki tersebut jauh dari pandangannya.
“Satrio.”
“Oke, bye Sat.”
“Jangan dipanggil Sat, kayak ‘bangsat’. Panggil Tri aja.”
Anya beranjak dari duduk, menepuk-nepuk celana jeansnya dan merapikan blousenya. “Oke, bye Tri.”
“Eh itu kardus yang kamu pake buat duduk, padahal bisa jadi alas buat nulis tadi.” Satrio menunjuk kardus yang sedari tadi diduduki Anya.
“Oh iya. Ya ampun, nggak sadar.”
“Kadang emang pas udah nggak nyari, kita justru menemukan. Ya kan, Nya?” Satrio tersenyum.
“Ng…Iya.”
“Bye, Anya..”
“Bye, Tri..”

Keduanya tersenyum, saling melambaikan tangan.
Ada badai di kepalaku
tegal lalai mengirup kopi

Ada badai di hatiku
lepas kau pergi tadi pagi

dua badai

by on 11:28:00 AM
Ada badai di kepalaku tegal lalai mengirup kopi Ada badai di hatiku lepas kau pergi tadi pagi



You feel at best when you’re home, they said. Let me scratch that specific phrase, a home. Not a house. Because a house, your house, is not always your home. House is a building while home is a soul.
Bukan kataku, itu kata Anya. Perempuan yang membuatku duduk menunggu di atas motor saat ini, menantinya selesai mengajar. Aku melihat ke arah jam tangan, ia seharusnya sudah selesai sekarang namun tak ada tanda-tanda kelasnya akan berakhir. Ia pasti keasyikan di dalam. Tak masalah, aku lebih senang menunggu di sini, memerhatikan anak-anak yang bermain setelah kelas usai, atau para orangtua yang menunggui anaknya dengan sabar dibandingkan harus mendekam di rumah.

Walaupun aku anak rumahan, lagi-lagi menurut Anya. Anak rumahan yang tak suka di rumah, kalau boleh kutambahkan.

“Kenapa sih emangnya? Kenapa nggak suka di rumah?”
Aku mengingat pertanyaan wanita bertubuh mungil itu. I didn’t have a precise answer at that moment she asked the question. But now I do.
I don’t feel like home at my very house. I dislike it, going through the front door to a wide empty living room, with a 42-inch-size flat TV. Lengkap dengan TV kabel dan DVD set sehingga aku bisa menonton siaran apapun yang kumau. To cold kitchen and vacant dining, tanpa nasi panas yang mengepul dari dalam dandang. I always have meals outside. Oh, wait, bukan cuma aku, my whole family does.
Sorry nih sebelumnya, but I really want to ask. Kamu dari keluarga broken home?”
Masih dapat kubayangkan wajah takut-takut-penasaran Anya ketika menanyakan pertanyaan itu untuk pertama kalinya setelah aku bercerita tentang ketidak-sukaanku akan rumah.
No, I am not. My parents have a wonderful marriage. They rarely fight about anything, you know.”
I thought it’s a good thing, no?”
Yes, and they thought so. But how should they fight, they don’t even talk to each other.”
Ekspresi wajah Anya berubah drastis. For a big girl, she’s quite expressive. Lucu.
Never?”
Ever. They’ve stopped talking since long time ago. My Dad is busy being busy. My Mom became so lonely that she’s busy trying to look busy.” Aku memberi penekanan pada kata ‘trying’, “So busy that they forgot I’m not that busy.” Aku tertawa di akhir kalimat. Ironical laughter.
Why did that happen? Kalo boleh tahu loh.”
“Hmm…. My Mom married my Dad because he looks good on paper. He fits her criteria. Dua puluh tujuh tahun, lulusan universitas bagus, pengusaha muda, dari keluarga baik-baik. Dan bokap nggak jelek juga kan, haha. And my Dad married her because she meets his requirements as a wife. Perempuan baik-baik, pinter, bisa masak, cantik. Kurang apa?”
Dia tak menjawab, masih menyimak.
“Mereka emang nggak ada kekurangan, kecuali kurang cocok. Ya..gitu.” Aku mengakhiri sesi curhat, merasakan aura simpati Anya menguar-nguar dari matanya. God, she’s bad at hiding feelings.
"I feel sorry. Dan maaf aku tanya kayak gitu, sekarang jadi nyesel. Maaf ya?”
“Oh, tenang aja. Nggak papa. I’ve got used to it. You don’t have to feel sorry.”
“Eh, aku keliatan jadi kayak ngasihanin kamu ya? Duh, maaf, aku nggak bermaksud.”
“Hahaha, nggak. Really, it’s okay. I pity myself sometimes, jadi mau dikasihanin juga nggak papa, ya karena emang kasihan…. ya kecuali kamu udah nggak punya belas kasih haha..”
Dia tertawa, namun binar mata itu tidak hilang. Binar mata khawatir.

Here’s the funny thing, I don’t tell people about my family. Telling my background stories is not my thing.
 

But this one is different. She, is different. I want her to know. I want her to understand. I want her to get why I do what I did, why I decide what I decided.
Kalo aku cerita ini ke cewek-cewek lain, mereka mungkin udah kasi gesture buat pelukan ala teletubbies, atau paling nggak nepuk-nepuk lenganku, berusaha bikin beban aku hilang. But she’s not doing any of those. She just listens and concludes. And that’s enough.
That’s what I need.

Sejak saat itu, rasanya lebih mudah bercerita tentang segala hal kepadanya. Tentang kesukaanku, sudut pandangku, tentang remeh-temeh harian, tentang kebiasaanku. Afterall, she has seen me deeper than anybody else, I don’t mind talking those things to her. I trust her. A lot.
And apparently, she trusts me too.
Dih, geer ya? Haha.

Tapi memang benar, terbukti dari percakapan kala itu, yang dimulai dengan pertanyaannya “Kenapa arsitek?”
Aku menjawab, “Oh, aku perlu masuk ke jurusan yang bikin sibuk. It is my family’s little tradition, being busy.”
It was half a joke, but she didn’t laugh. She just smiled.
“Kamu kenapa masuk kedokteran? Bukannya kamu pernah bilang kamu dulu pengen banget jadi guru?” Tanyaku, penasaran juga.
“Hehe karena…guru nggak bisa jadi dokter, tapi dokter bisa jadi guru.”
“Bener juga sih.”
She paused. Setelah beberapa lama diam –yang kuyakin ia berpikir keras apakah harus bercerita atau tidak– ia lantas melanjutkan, “Being a doctor is not an option for me. It never was. But my parent wants a child who is a doctor. Dan ya…kamu tahulah dua abang dan satu adik perempuanku kayak gimana. Ngarepin mereka jadi dokter ya sama aja ngarepin salju turun di sini.”
Oh ya, aku tahu soal dua abang dan satu adik perempuannya itu. Satu abangnya menikah muda dan lebih suka berwirausaha, satu abangnya lagi senang di alam bebas, lebih suka jalan-jalan keliling Indonesia dan jadi blogger wisata. Sementara adik perempuannya....gimana yah menjelaskannya? Si rapuh yang sering sakit-sakitan, pokoknya begitu kata Anya. She has told me all those things waay before this conversation happened.
Jadi kesimpulannya, dia juga percaya sama aku. We’re in the same boat.

Begitulah seterusnya, selama bertahun-tahun. Sudah berapa lama ya? Lima..enam…tujuh? Iya, tujuh tahun dari pertama kali kami dekat. Pertama kali kami berbicara satu sama lain. Pertama kalinya aku tahu bahwa ada ratusan hal yang bergelimpang di kepalanya. Pertama kalinya aku tahu ia memiliki banyak sudut pandang yang tidak dimiliki perempuan-perempuan lain yang pernah kukenal. Pertama kalinya aku merasa, ternyata ada toh perempuan yang bisa diajak duduk berjam-jam tanpa habis bahan omongan. Meskipun dia jauh dari kriteria wanita idamanku. Jauh.

Tapi apalah artinya kriteria yang seabrek-abrek itu kalau tak bisa diajak bercakap? I don’t want my children going back to an empty house like I do.
I want my future house to be a home.

“Udah nunggu lama, eh?” sapaan Anya membuyarkan pikiranku. Kulihat jam tangan –ternyata sepuluh menit tadi kuhabisi dengan melamun. Aku melepas earpieceku –fyi, ini senjata paling ampuh untuk menghindar dari percakapan basa-basi yang tak perlu. Aku meresponnya dengan menaikkan alisku yang berarti ‘Iya, udah lama sampe aku mati bosen’ –I don’t need words, she’ll understand. Kutatap wajahnya yang dihiasi bulir-bulir peluh namun tampak bahagia, terlihat dari senyumnya yang tak putus-putus. Senyumnya yang hangat, bak perapian di rumahku yang kadangkala kunyalakan hanya agar rumahku seperti ada kehidupan.

Dan binar matanya mengingatkanku akan lampu gantung di ruang tengah rumah. Ruang kosong yang harusnya penuh. Ruang sepi yang mestinya ramai.

Suddenly, I feel like I'm home.
Suddenly, I want to take her home.

di sepuluh menit

by on 3:26:00 PM
You feel at best when you’re home, they said. Let me scratch that specific phrase, a home. Not a house. Because a house, your house, is...




"Udah nunggu lama, eh?” aku menyapanya dari belakang. Ia sontak menoleh, melepas earphone di telinganya yang kutahu hanya asesori agar ia punya alasan untuk tak berbicara dengan orang lain. He doesn’t bother talking to stranger, so he always uses his earphone eventhough there are no songs playing on his phone.
Sigh, I know him too well.
Ia menaikkan alis –bukannya mengangguk– yang berarti ‘Iya, udah lama sampe aku mati bosen.’ But none of those words came from his mouth. He hardly complain. Hell, he never does.
“Maaf ya, tadi muridku ada yang telat dijemput, trus mereka ngajak ngegames. Trus heboh pada nggak mau pulang.” Aku menjelaskan alasan keterlambatanku, bukan untuk dia mengerti, tapi hanya agar dia tahu.
“Ga papa, I like being here anyway. Jadi, ke mana kita sekarang?” Jawabnya santai.
“Aku lapar.”
“Oke, yuk makan. Hmm, sate kambing?”
“Sate kambing.” Aku mengangguk setuju.
Cukup sepuluh menit di perjalanan dan kami pun sampai di kedai sate favorit kami. Iya, kami. Meskipun ia ‘semi-vegetarian’ –begitu kataku, karena ia tak terlalu suka makan daging– , tapi sate di sini memang enak, dan kurasa ia pun menyukainya.
“Sate kambing setengah porsi, sate ayam seporsi, bumbu kacang.” Aku memesan sementara ia mencari tempat duduk. Otomatis begitu, setiap kali kami makan berdua. Ia sudah hapal pesananku, namun ia selalu bingung saat harus memesan makanan. Lagipula berbicara dengan orang lain adalah satu dari beberapa hal yang dihindarinya. Si canggung, julukku. Sedangkan aku sulit menentukan tempat duduk; kadang aku ingin di pinggir, kadang aku senang di tengah. Sehingga seringnya aku bingung sendiri. Si tidak berpendirian, juluknya.
“Aku udah lama nggak makan sate. Kangen.” Kataku sembari menarik kursi tempatku duduk.
“Bukannya minggu lalu kita baru dari sini?”
“Seminggu itu masuk kategori lama.” Jelasku, membuatnya terbahak. Tawa dengan geligi rapat dan beberapa dehem di antaranya. Tawa yang tak pernah bosan kulihat.
“Aku nggak terlalu suka daging, jadi..”
I know.” Potongku, “Dan ga suka kambing. Padahal sate kambing di sini itu sate yang paling enak sejagat raya.” Kataku, hiperbolis.
Kambing is an overpriced meat. Dan baunya nggak enak.”
Oh, here we go again with this kambing baunya nggak enak, Come on, Tri. Setelah jadi sate, baunya jadi enak”
It still smells the same.”
Aku menyerah. Kami telah berdebat mengenai ini ribuan kali. Aku jadi teringat pertama kali ia kuajak ke tempat ini, dahinya berkerut dan ia menyeletuk, “Ini tempat penyiksaan hewan.” Saat kutanya kenapa, ia menjawab, “Coba bayangkan, karena tempat ini, ada berapa ekor ayam, kambing, sapi, dibunuh setiap hari? Kasian.”
Aku ingat tertawa mengejek setelah mendengar jawaban itu, yang kutimpali dengan, “Oh, tapi aku nggak pernah liat kamu kasian waktu makan ayam goreng KFC.” Dan dia hanya mengeluarkan tampang ‘hehe, ya abisnya KFC enak..’-nya yang benar-benar manis. Sudah tujuh tahun dan masih terekam jelas di kepalaku adegan satu itu.
Pesanan kami datang dan sekejap saja argumen tadi terlupakan. Aku menatap dengan bahagia setengah porsi sate kambing di hadapanku. Satrio dengan kalem menaburi sate ayamnya dengan bawang goreng dan jeruk nipis. Oh ya, lelaki di depanku ini bernama Satrio. Ia ogah dipanggil ‘Sat’ karena itu seperti panggilan untuk ‘bangsat’, dan ia tak mau dipanggil ‘Yo’ karena dia bilang tidak ada huruf ‘y’ di namanya. Itulah kenapa aku memanggilnya ‘Tri’. Manusia satu ini memang sungguh aneh. Mempermasalahkan hal-hal yang menurut sebagian besar orang tak lazim dipermasalahkan. Tapi tak apa, aku sudah terbiasa.
“Gimana tadi ngajarnya?” Ia bertanya di sela denting-denting garpu yang beradu dengan piring-piring kami.
It was fun. It is always, fun.” Koreksiku, “Oh, tadi ada kejadian seru. Ada satu anak yang bawa sumpelan kapas dari rumah. Banyaak banget. Trus dibagi-bagiin ke seluruh anak di kelas. Waktu ditanya buat apa, dia bilang, ‘supaya kita tau rasanya jadi Denis, Miss. Jadi mereka nggak ketawa kalau Denis salah denger omongan Miss.’ Lalu dia bikin semua orang pake sumpelan kapas, dan jadilah seharian tadi aku ngajarnya teriak-teriak.”
Satrio tertawa lepas. Kali ini cukup lama sebelum ia berkomentar, “Itu Dea ya? Hahaha, masuk akal sih kalau dia gitu.”
“Whoa, kamu inget namanya?”
“Inget lah. Kan kamu pernah cerita, aku ingat karna dia Koleris banget anaknya. Hahaha.” Ia tertawa lagi.
Aku merasa kenyang cukup dengan menontonnya tertawa. Sungguh.
“Kamu selalu melabeli orang deh. Koleris lah, Melankolis lah, Phlegmatis lah.”
“Ya setiap orang punya sifat-sifat itu, dan sebagian orang punya salah satu sifat yang terlalu dominan, begitu ngeliatnya aja langsung tau.”
“Iya.. kayak kata kamu, aku sangat Sanguinis.”
“Memang.”
“Tapi aku ga suka dilabelin. Dan label dari kamu buat aku tuh terlalu banyak. Si Sanguinis, Si Tidak-Berpendirian, Si Sinis-Optimis, uhm.. apalagi ya.. oh iya, A Coffee-Cup-Possesive, cuma karna aku marah tiap ada yang pake gelas kopi aku. Dan.. ah, kamu bahkan pernah ngejulukin aku The-Miss-Yes dan Sang Ibu-Peri-Sejuta-Umat cuma gara-gara aku ga bisa nolak tiap ada yang minta tolong.” Protesku.
“Tapi emang benar kan?”
“Iya sih. Aku kan nggak enakan orangnya.”
Okay Miss-Not-So-Good-at-Arguing.” Ledeknya.
Well, here comes the new label.” Aku menghela napas.
Don’t you like it? Padahal aku mau nambah lagi satu label.” Ia tertawa geli. Wajah siap meledeknya sudah terbaca jelas.
“Apa?”
“Mrs. Satrio.”

Wait…..what?

Aku terhenyak, meletakkan setusuk sate kambing yang tadinya siap kutelan. Tenggelam dalam perasaan kaget dan senang. Kepalaku berusaha memproses dua kata yang barusan diucapkannya.
“Tunggu, kamu bilang apa tadi?”
“Oh, kurang jelas ya? Mrs. Satrio. Nyonya Satrio.”
I know what that means.”
If ‘I know what that means’ means you’re accepting my proposal and agree to be a wife of mine, than we share the same definition, Miss.
Aku masih terperangah. Laki-laki ini…..
Aku buru-buru menepis angan-angan tinggi dan menekan dalam-dalam kebahagiaan serta rasa terkejut yang belum hilang, aku berusaha logis dan mempertahankan kewarasanku, “So, you are proposing me. Just because you want to add a new label. For me. Huh?”
Yes I am proposing. And yes I want to add ‘that’ new label for you. But it is certainly not a 'just because’… aku udah mikir panjang-panjang sebelum akhirnya memutuskan akan menyemati kamu dengan label itu.”
“Mikir panjang-panjang? Kapan? Di sepuluh menit perjalanan dari sekolah ke sini?” Kataku, masih tak jelas.
“Duh, Anya. You think? Mikir panjang-panjang, sepanjang tujuh tahun kita sama-sama. Sebagai teman. Sebagai teman yang lebih dari teman –atau entah apalah menurut kamu yang kita jalani selama ini. Dan aku gak menemukan orang lain lagi yang pas buat aku selain kamu, serta yang pas buat kamu selain aku.”
“Wow, pede banget kamu.” Tanpa sadar, pipiku terasa panas, yang kuyakin akan memerah meski tak kububuh blush-on tadi sebelum mengajar.
“Bukannya pede. Tapi itu kenyataannya kan? Ya, siapa lagi sih yang siap sedia dengerin kamu ngomong berjam-jam tentang hal yang seringnya sama, tapi nggak ngeluh sedikitpun? Dan siapa lagi yang paham kalau aku bukannya sombong atau cuek, aku cuma ga senang ngomong sama orang yang menurutku pointless and ain’t worth my time. Kamu pasti tau kan tadi aku nggak muter lagu apa-apa eventhough I put my earphone on? Cuma kamu yang tau. And we still stick with each other.”
 Aku tergamam, tak dapat membantah sedikitpun kata-katanya. Seluruh ucapannya benar. Setiap kalimat, setiap kata. Aku bahkan tak bisa mengelak dari kata-kata ‘and we still stick with each other’ cause yes, after all, after these seven years, I never really leave his side. So does he.
“Jadi gimana? Is it a deal?” Katanya, memecah kesunyian yang kubangun dengan lamunan-lamunanku. Ia masih makan dengan rileks tanpa beban sementara aku masih shock hingga sate kambing favoritku tak tersentuh sedikitpun.
“Tapi….” Aku menggumam ragu.
“Tapi kenapa?” He’s looking me right at my eyes.
Napasku tertahan.
You don’t know who I am. I’m not a good person.”
I know you enough that I’ve decided you are the best for me. Dan ga ada bad person yang tahan ngajar kelas anak-anak berkebutuhan khusus.”
“Ha, and I’m not good at cooking. You said you want a wife who cooks well.”
I like your nasi goreng. You’re good at making coffee. And I know you will learn eventually, no worries.

Okay, he’s right.

And uhm, I’m needy and clingy, I thought you are aware of that.”
“You’re not. You just love to have a company.
And I am an insecure bitch, jangan lupa.”
It’s a woman’s basic need, to feel secured.” Jawabnya tenang.
Aku berdecak mendengar respon yang ia berikan, “I love how logical you are.” Tukasku, antara kesal dan kagum.
“Haha, coba buang ‘how’, ‘logical’ dan ‘are’nya. It would sound better.”
Err.. I… love you?” Jawabku, refleks.
I know. So it’s a ‘yes’ then. Congratulation us!”
Dia tersenyum puas.

setelah tujuh tahun

by on 11:27:00 AM
"Udah nunggu lama, eh?” aku menyapanya dari belakang. Ia sontak menoleh, melepas earphone  di telinganya yang kutahu hanya ase...
Beberapa pekan lalu, saya dipilih dengan seenaknya oleh Yang Terhormat, Kristiawan Balasa untuk terseret ke permainan menulis sambung-bersambung ini. Sama seperti dia, saya pun tidak tahu apa itu Liebster Award. Saya bahkan bertanya-tanya, kenapa musti 'Liebster', dan kenapa harus 'Award' ketika tidak ada penghargaan yang diberikan di dalamnya. Tapi ah sudahlah, mungkin tak setiap tanya itu harus ada jawabannya.
Jadi di sinilah saya, menulis yang harus ditulis. ada kewajibannya pulak. Hasil potong-tempel dari postingannya Bang Balasa, saya mendapat informasi bahwa :
1. Penerima award wajib berterima kasih kepada pemberi award.
2. Penerima award wajib mendeskripsikan 11 fakta mengenai dirinya.
3. Penerima award wajib menjawab 11 pertanyaan yang diberikan oleh si pemberi award.
4. Penerima award wajib memilih 11 blogger lain sebagai nominator award berikutnya, dan berikan 11 pertanyaan untuk mereka.

Baiklah, mari kita mulai dengan kewajiban pertama.
Terima kasih yang entah untuk apa, Bang. (toh kita tak pernah punya memori yang pantas diterima kasihi, eaaaa)
Oke, mari lanjutkan dengan kewajiban kedua, 11 fakta tentang saya:
1. Nama lengkap saya adalah Isma Resti Pratiwi, namun sesekali saya menggunakan nama 'Isma Hadiatmaja'.
2. 'Hadiatmaja' adalah nama kakek saya.
3. Kakek dari sebelah Bapak, jika ada yang bertanya.
4. Saya tak sengaja menjadi mahasiswa di Fakultas Kedokteran.
5. Jangan tanyakan kenapa. Pokoknya tak sengaja.
6. Kesibukan saya kini ialah skripsi, kangen, mengajar Bahasa Inggris, kangen.
7. Saya tak punya saudara perempuan.
8. Cinta pertama saya adalah Derby Romero, kemudian saya tahu bahwa ada perbedaan-perbedaan di antara kami yang hampir mustahil untuk ditembus.
9. Sehingga ia kemudian menjadi patah hati pertama saya.
10. Saya senang belajar bahasa, karena saya malas menonton menggunakan subtitle.
11. Masih banyak kemalasan saya lainnya yang bisa saya ungkapkan, namun ah, ternyata kita sudah sampai nomer sebelas. Syukurlah.

Sampailah kita ke bagian inti dari permainan ini. Menjawab pertanyaan. Karena saya tak senang basa-basi, dan saya yakin Bang Balasa sudah hampir lelah menunggu jawaban, maka langsung saja saya jawab.
1. Seorang dosen pernah membuka kelas dengan satu pertanyaan, “kamu kenal dia?” katanya sambil menunjuk seorang teman saya. Menurutmu, apa saja kriteria ‘kenal’?
Kriteria kenal itu cukup satu, ialah mengetahui ciri khas; dapat membedakan dia dengan lainnya. Jika kurang dari itu, kamu tidak kenal.
2. Jika kamu diberi mukzizat, sekali saja, dalam satu waktu dapat menyelesaikan sebuah novel. Cerita apa yang akan kamu angkat?
Saya ingin protes. Pertama, menyelesaikan sebuah novel bukanlah mukjizat (oh ya, ngomong-ngomong, yang benar itu 'mukjizat', sudah saya cek di KBBI) namun adalah sebuah keharusan. Jika keharusan itu sudah terpenuhi, cerita yang saya angkat adalah tentang cinta dan segala kerumitannya, Apalagi?
3. Sebutkan tiga buku terakhir yang kamu baca!
Filosofi Kopi, They Say I'm Monkey (versi terjemahan dari Mereka Bilang Saya Monyet), dan Dunia Sophie. 
4. Siapa orang yang paling ingin kamu temui? Alasannya?
Sepupu saya. Alasannya karena rindu.
5. Punya target apa di 2015? Cieh resolusi~
Sehat senantiasa dan (kembali) kurus.
6. Bahagia paling sederhana kamu, apa?
Melihat orang tua saya sehat dan bahagia (dan memberi mereka menantu yang baik itu termasuk membuat mereka bahagia).
7. Apa yang paling bikin kamu nyaman?
Tadinya saya pikir pertanyaannya 'siapa?' maka saya hendak menjawab 'dia'. Namun karena pertanyaannya 'apa?' maka jawaban saya, 'hatinya'.
8.  Tokoh siapa, di buku atau film yang ingin kamu rasai jalan hidupnya? Mengapa?
Karena akhir-akhir ini saya sedang candu dengan serial dorama jepang ini, saya ingin menjadi Irie Kotoko dalam manga/anime/live action Itazura Na Kiss.
9.  Buat satu pertanyaan untuk isi nomor 10!
Apakah saya ingin meneruskan award ini kepada orang lain?
10. (jawab pertanyaan yang kamu buat)
Tidak, adakalanya sesuatu baiknya diakhiri, jika mereka tak bisa, maka biar saya yang menyudahinya.
11. Tips buat LDR dong!
Jangan. Kecuali kamu senang susah.

Sebab pertanyaan nomer 9 yang sudah saya jawab di nomer 10 tadi, maka saya mendapatkan hak khusus untuk tidak menunaikan kewajiban nomer 4. Maka dengan ini, berakhir sudah postingan Liebster Award dalam rangka memenuhi utang saya kepada Bang Balasa.
Sekian dan terima kasih atas perhatiannya!


Berikan aku yang indah-indah.
Kumpulkan.
Satukan.
Gabungkan.

Adakah yang seindah engkau?
Kurasa tidak.

adakah?

by on 7:02:00 PM
Berikan aku yang indah-indah. Kumpulkan. Satukan. Gabungkan. Adakah yang seindah engkau? Kurasa tidak.