"A' halooo."
"Ya teh? Pesen apa?"
"Duh A', meja counternya tinggi banget ini, susah baca tulisan menunya."
"Hahaha, ini sok atuh diambil leafletnya, liat di sini aja, mau minum apa teh?"
"Hmmm.....cappuccino aja deh ya A' yang anget. Jangan panas-panas atuh, nanti keburu subuh diminum nungguin jadi dingin."
"Huahaha, siyap teh, ntar tunggu aja ya ambil nomernya sok."
"Iya A'." *lompat-lompat* "Duh, ga nyampe A', kumaha iyeu counternya ngga ramah sama orang mungil kayak saya. Kasih semen aja apa ih di depan sini biar tinggian dikit."
*Ketawa lagi* *Ngambilin* "Ini teh, lain kali kalo ke sini lagi pake heels atuh teh hihihi."

***

"Eh masbru, ini kayaknya di depan counter perlu kita tambah semen deh."
"Wah, kumaha. Kayaknya dari dulu-dulu banyak yang complain tapi katanya ngga usah buang-buang uang?"
"Iya, dipikir-pikir kasian juga yah kalo ada yang badannya kecil mungil susah liat menunya."
"Yaudah, oke nanti saya urus deh. Asal ada aja biayanya."
"Okeh."

***seminggu setelah disemen***

"Loh A', ini kok tetiba ada semennya? Akhirnyaah, saya bisa liat menunya di meja counter hihi."
"Hehe, iya atuh neng, saya kan menampung aspirasi kastemer. Sok dipilih minumannya neng, mau minum apa? Cappuccino nggaa pake susu lagi?"
"Wah, Aa mah perhatian pisan. Jadi terharu. Hmm padahal tadi saya ajak kakang, biar bisa liatin menunya." *Liat belakang* "Kang, sinih. Pesan apa? Ini ngga ada menu lemonti kesukaan kakang, apa mau disamain aja ama eneng?"
"Oh, ada kakangnya ya teh? Hehehe hehe hehe..."

***
When we are apart from the ones we love, we could use doing little things they used to do just to make us feel like they are close to us. As easy as listening to the same radio station they used to listen every morning while being stuck on the traffic: reading the same book they used to read before sleep, using coin as its bookmark; watching the same series they have been following even when you’re not really into them. We do those things over and over until we really meet them, just because we need to feel their presence in our live.
Itulah yang sedang Anya lakukan seminggu belakangan. Menghadirkan Banyu dalam kesehariannya melalui hal-hal kecil yang biasa dilakukannya. Jika tertarik pada satu lagu, Banyu senang sekali memutar lagu tersebut di handphonenya berulang-ulang sampai muak, untuk kemudian akhirnya menyukai satu lagu lain dan mengulang siklus yang sama. Itu sebab seminggu ini Ellie Goulding – On My Mind jadi satu-satunya lagu yang menggema dari speaker ponsel Anya, dan ia belum muak. Banyu senang sekali memotong makanan kecil-kecil sebelum dimakan, apapun itu bentuk makanannya –kecuali nasi- maka Anya pun memotong kecil-kecil pisang goreng susunya sebelum memakan, walau sebetulnya Anya lebih suka menggigit dan mengunyahnya langsung. Banyu selalu menjentikkan jari sebelum mulai menulis sesuatu, maka Anya pun melakukan hal yang sama hingga akhirnya kebiasaan itu melekat padanya. Atau mengulang kata yang sering Banyu katakan semacam ‘santailaah’, dengan nada tertentu yang Anya hapal betul. Anya melakukan itu semua.
Tapi tentu saja ada beberapa hal yang Banyu biasa lakukan, yang tak bisa ia lakukan. Seperti mengedikkan kepala ke bahu –memberikan tanda buat Anya untuk bersandar di bahunya- tiap kali Anya merasa lelah dan buntu. Atau mencium rokok sebelum membakarnya, menghisapnya dua kali lalu mematikan dan membuangnya. Satu-satunya kebiasaan Banyu yang ditentang Anya. Banyu butuh nikotin sama seperti Anya butuh kafein. 
Bukan bendanya, tapi isinya. Kamu suka kopi walau kamu tau itu nggak baik buat kamu, karna kamu butuh kafeinnya bukan ngopi-nya. Ya apa bedanya sama aku, Nya?
Kalimat Banyu itu mengiang di kepala Anya; kalimat yang membuat Anya selalu kalah suara perkara kebiasaan merokok-dua-hisap itu.
Kadang Anya membalas dengan, “That is so freakin bullshit Nyu. Nikotin nggak baik buat kamu.” Yang dibantah Banyu dengan, “Kafein juga nggak baik Nya. Apalagi kalo udah addict kayak kamu.”
“Ya tapi kafein secara ilmiah udah terbukti ada efeknya ke otak. Ningkatin konsentrasi, ya wajarlah aku butuh.”
“Nikotin bikin aku tenang, Nya.”
“Itu sugesti kamu, Nyu.”
“Anyaku…,” panggilan yang tak pernah tidak membuat Anya tersenyum, omong-omong. “…kalau memang ningkatin konsentrasi cuma bisa pake kafein, mungkin hampir semua orang di dunia ini ngopi kayak minum air putih. Tapi mereka nggak, dan kamu iya. Itu bukan sugesti namanya?”
“Ya…”
“Udah ya ceramah rokok nggak baiknya. Aku tau kamu peduli sama aku, tapi cuma dua hisap bukan dua bungkus…what would probably happen to my lung, Nya? Mereka kuat kok napas buat aku sampai kita menua berdua jadi ompong sama-sama.”
Cheesy, tapi selalu berhasil menggantikan sesi debat dengan yang tawa lepas yang hangat.
Hal itulah yang tak bisa Anya lakukan, karena hanya Banyu yang bisa. Dan itu membuat Anya rindu.
Anya tidak tahu apakah ia merindukan orangnya, atau momennya.
Atau, justru rindu perasaan merindukannya.

***

Stuck ya? Kamu mikirnya pendek sih. Main solitaire jangan buru-buru. Nya.”
Komentar itu membuat Anya terkesiap. Ia menoleh ke arah belakang, sumber suara itu datang. Suara yang nyaris tak pernah didengarnya lagi sama sekali, dan yang ia kira tak akan pernah didengarnya lagi.
“Kok bengong? Itu loh, coba kamu pindahin jack nya ke atas dulu. Terus kamu pindahin delapan jambunya ke sembilan wajik. Nah, tujuh keriting turunin deh. Habis itu..”
Wait wait,” Anya menarik handphonenya, “Kok jadi nyelak aku gini sih? Aku kan lagi main. Kok jadi nimbrung?” repetnya sok galak.
Yang diomel malah tertawa, “Hahaha.. Nya, aku gemes liatnya. Restart game berkali-kali tapi langkah yang diambil itu-itu lagi. Coba sini aku mau liat game statsnya, pasti kamu banyakan kalahnya daripada menang.”
“Sori yeee,” secara spontan Anya menunjukkan game statsnya, menampilkan Score: 72, Wins: 76, Losses: 52, Rate: 59%, Win streaks: 13., “Ini 56 kali kalah semuanya karna aku nggak konsen. Sama kayak sekarang, lagi ga konsen makanya kalah terus.”
“Hmm iya..iya percaya. Pasti 76 kali menang bukan kamu yang main.”
Anya baru saja akan menjawab, lelaki itu buru-buru mengacungkan 2 jari membentuk tanda peace, “Becanda, Anya. Hahaha.. kayak nggak kenal aku aja.”
We barely know each other, please deh. Anya membatin.
“Ngapain di sini Nya?”
“Ganti tempered glass tab. Tau tuh lama banget mbak-mbaknya. Ampe bosen, yaudah maenan solitaire.”
“Hahaha.. segitu serius main sampe nggak sadar ya aku daritadi ngeliatin?”
Gila ni orang gombalnya. Anya membatin lagi. “Kamu ngapain emangnya?”
“Aku ke sini nyinggah beli pulsa, eh ada kamu lagi khusyuk kan jadi pengen gangguin.”
“Hahaha.. iya makasih ya udah ganggu, aku seneng banget.”
“Hahaha.. so, why solitaire, Nya?”
“Maksudnya?”
“Ada banyak yang bisa dilakukan kalo lagi nunggu sesuatu, tapi baru kali ini aku ngeliat orang nunggu sambil main solitaire.”
“Oh…” Anya menaikkan alisnya. Karna ini kebiasaannya si Banyu. Dan iya sih yang biasanya mainin solitairenya juga dia, hence the win streaks…
Tapi tentu saja itu tak keluar dari mulut Anya, “Adanya ini doang di handphone.”
 “I was expecting a wiser answer tadinya hahahaha, ternyata..”
“Hahaha what wiser answer?”
“Misalnya, karna kamu tau filosofinya gitu.”
“Loh ada filosofinya emang?”
“Loh kamu ga tau?”
Anya menggeleng kuat, penasaran.
“Aku juga nggak tau. Nyebut aja tadi.”
Anya hampir saja melayangkan tinjunya; lelaki di depannya membuat tameng menggunakan kedua lengannya kemudian tertawa.
“Hahaha.. becanda, Nya becanda. Iya itu ada filosofinya. Jadi game solitaire itu dulunya disebut patience. Karena mainnya butuh kesabaran. Sama kayak nunggu, jadi yaa aku pikir gitulah. Nunggu, solitaire, sama-sama butuh sabar. Begitu.”
“Ini kamu becanda?”
Do I look like joking?” Ia tertawa, “Gila ini aku serius aja kamu bilang becanda Nya..”
“Ya abisnya… tapi serius itu gitu filosofinya?”
“Iya, ya ampun ga percaya banget deh. Cek deh di internet kalo nggak percaya.”
“Iya iya aku percaya.”
“Jadi..gimana kedokteran, Nya? Seru?”
Anya otomatis menghela nafas berat, “Haaah…seru kalo kamu rela masa muda kamu diisi dengan ujian tiap dua minggu sekali. Dan otak kamu diisi sama hapalan sebanyak ratusan, eh, ribuan materi kuliah.”
“Tapi nanti kalo udah jadi dokter kan enak Nya.”
“Iya, naaaantiiiiiiiiiiiiiiiiiiii.” Jawab Anya, membuka tangannya lebar-lebar, menunjukkan bahwa waktu nanti itu masih sangat lama.
“Hahaha, berarti sekolah kedokteran itu kurang lebih main solitaire ya? Butuh sabar.”
“Ya, bisa bisa hahaha. Kamu gimana? Udah puas begadang selama kuliah arsitek?”
“Yaaa…begitulah. Udah nggak tidur bikin project trus pas dipresentasiin eh disuruh ulang. Nggak tidur lagi, nggak tidur terus. Siklus hidup lagi gitu aja.”
“Ckckckck, nasib kamu deh ya.”
“Nggak papa sih. Nya. I like it, tho. Biar ada yang dikerjain di rumah. Lagian yang namanya tugas mah, enak nggak enak harus dilakuin. Dibawa enjoy aja sih jadi ga berasa.”
Anya memberi applause kecil, “Wiih.. hebat ya bapak, speech yang luar biasa.”
Mereka berdua tertawa.
“Eh Nya, itu kayaknya tabletnya udah selesai deh.”
Anya menoleh ke belakang, melihat ke arah mbak-mbak memberi kode bahwa tabletnya sudah selesai dikerjakan.
“Eh iya, bentar ya.”
Anya mengecek tabletnya, mengusap-usap layar tabletnya yang kini terlihat bersih, membayar dan memberi ucapan terima kasih.
“Mau cabut nih. Kamu nggak balik? Mau kerja di sini apa gimana?”
Lelaki tersebut tertawa, “Ya nggaklah, hahaha. Ini mau balik juga. Duluan aja Nya, aku nyari earphone dulu.” Katanya sembari mengorek isi tas punggung berwarna abu-abu hitamnya.
“Oke deh, byee.”
“Byee.”
Anya melambaikan tangan, berjalan menuju pintu luar, membuka pintunya..
“Nya..”
Ia sontak berbalik, “Yaa?”
Long time no see ya? Padahal rumah deket.”
Err…what does that mean?
“Hahaha iya… mungkin itu filosofinya.” Jawab Anya.
“Maksudnya?”
“Nggak kerasa udah tiga bulan dari kita ketemu pas daftar ulang. Rumah deket, satu universitas. Mungkin emang disuruh nunggu buat bisa ketemu lagi.”
“Iya.. filosofinya?”
 “Patience, grasshopper.” Anya tertawa kecil. Good things come to those who wait. Sambungnya dalam hati, mengutip quotes Cassandra Clare dalam buku City of Glass; buku yang akhir-akhir ini dibacanya berkali-kali sampai kumal saking senangnya ia dengan buku ketiga dari serial The Mortal Instrument tersebut.
“Bye, Nya.”
“Bye.”
“Lain kali mainnya jangan buru-buru ya Nya, bebasin dulu AS sama angka yang kecil-kecil. Jangan main pindah-pindahin aja.”
“Iya makasih ya nasihatnya. Berguna banget.” Sahutnya dengan nada menyindir.
“Hahaha….daah.”
“Daah.” Anya menarik nafas, “Kali ini terakhir, daah.” Ia melambaikan tangannya, berbalik, membuka pintu dan tak lagi melihat ke belakang.
Senyumnya mengembang. Sebetulnya ia sungguh ingin.

***

“Nunggu.., solitaire...., sama-sama butuh sabar.” Kata-kata Satrio masih menggaung di kepala Anya beberapa hari setelah pertemuan mereka. Ia tercenung memandangi pisang goreng susu yang dipotong-potongnya untuk sarapan pagi ini, melayangkankan pikirannya pada Banyu. Mengingat cintanya itu.
Menunggu, solitaire – keduanya sama-sama tak mungkin tidak membuatnya teringat akan lelaki yang dicintainya bertahun-tahun itu. Lelaki pecinta solitaire yang ia cintai sampai mau mati, yang dengan seenaknya pergi dari kehidupannya. Tanpa tedeng aling-aling.  Lelaki yang minggu-minggu ini memenuhi segenap sel otaknya, yang tak menyediakan sehela napas pun tanpa membuatnya merindu.
Atau, yang ia pikir begitu.
Pertemuannya dengan Satrio tempo lalu membuatnya berpikir, jika ia perlu ‘menghadirkan Banyu’ dengan melakukan kebiasaan-kebiasaan kecilnya, bukankah itu berarti sebetulnya Banyu sudah ‘pergi’? Sudah ‘tidak ada lagi’?
Dan cara terbaik untuk mengetahui seseorang telah terusir dalam hati adalah ketika ada orang lain masuk dengan atau tanpa permisi.
Bagi Anya, Satrio adalah orangnya. Si kurang ajar yang sudah ‘kulonuwun’ tanpa ia sadari.
Good things come to those people who wait. Selama ini Anya selalu berpikir, Banyu adalah ‘good things’ yang pantas ia tunggu. Karena itu ia menunggu.
Namun kesabarannya, ternyata membuahkan sesuatu yang lain.
Sesuatu yang jauh lebih baik.
Koreksi, seseorang.

3 months after

by on 2:00:00 AM
When we are apart from the ones we love, we could use doing little things they used to do just to make us feel like they are close to us. A...