sebuah koma

hari itu, aku berjalan sendirian. tidak tahu jalan, tidak pula tahu arah.
hari itu, aku melihat ke depan, sejauh yang bisa kupandang hanyalah jejalan kosong dan sepi menyelimuti sesisian.
hari itu, aku tidak pernah menduga bahwa perjalananku tak akan pernah menjadi sama.

hari itu, kita berpapas jalan.

dengan sebuah cara yang tidak biasa, karna kukira jalanku pada awalnya lurus, tanpa persimpangan.

"kau mau kemana?" tanyaku
"hmm, tidak tahu. kau?" kau malah balik tanya.
"kurasa aku akan lurus saja." jawabku.
"baiklah, aku ikut."

aku mengangguk kepala. tidak apalah, setidaknya aku tak sendirian.

lalu kita berjalan bersama, bersisian.

"kenapa kau sendirian?" katamu.
"entahlah, aku hanya belum bertemu teman seperjalanan yang tepat.'
"oh ya? tidak apa aku menyertaimu?" tanyamu, seperti menginterogasi.
"tak apa." aku tersenyum.


dan percakapan kita kemudian membumbung di sepanjang perjalanan. kau, dengan idealismemu. aku, dengan realistisku.
kau memaksa aku membentuk pola pikir baru, tentang 'teman seperjalanan', tentang hubungan, sama halnya aku memaksamu melihat dari kacamataku tentang bagaimana teman seperjalanan dapat perlahan pergi meninggalkan, dan pahitnya kembali berjalan sendirian.
tetiba jalanan yang biasa kulihat lurus, satu demi satu membuka. memperlihatkan rupa ujungnya. kau serta merta melukisi masa depan, untukku.

"terimakasih." katamu
"untuk apa?"
"menjadi teman perjalanan yang baik."
"aku pun berterimakasih, kalau begitu."

pada menit kau mengatakannya, kau memulas senyum. kupikir aku tau dengan siapa aku akan menghabiskan sisa perjalanan ini.
aku melihat ke depan,
"tak jauh lagi." pikirku, dalam hati.

sampai beberapa detik setelahnya,
"hei, ada persimpangan."
ujarmu, seperti tahu bahwa memang akan ada cabang pada jalan kita.

"aku harus berbelok." kau melanjutkan.
"kenapa?" aku gelisah.
"lihat ke ujung jalan itu. ada seseorang yang menungguku. dia minta ditemani. akulah teman seperjalanannya." matamu berbinar - binar.
"lalu kenapa kemarin kau berbelok ke jalanku?" tanyaku, heran.
"entahlah, terkadang ada masanya kau ingin mengambil jalan yang berlainan."

aku hanya diam.
kau pergi.
dan aku hanya diam..


"terimakasih ya." kau sempat menoleh.
"tidak perlu." jawabku. ya, sembari tersenyum.

aku memandangi jalanku lagi, perlahan lukisan yang telah kami deskripsikan bersama, memudar satu per satu..


di titik itu, aku tahu, mungkin ini saatnya untuk berhenti.
bukan pemberhentian karena aku berada di ujung perjalanan.

hanya sebuah koma,
aku ingin berhenti sejenak, aku lelah.

5 comments:

  1. Isma.. pantasan dibully sebagai Ratu Galau ._.v

    ReplyDelete
  2. fiksi kadang mewakili isi hati penulisnya *uhuk*

    ReplyDelete
  3. Selain itu bisa dibilang dari dulu isma adalah seorang Ratu Analogi.. hehee..
    Adaa aja.. But nice! :) Pesan yang mau disampein lewat cerita nyampe jg ke fd :D

    ReplyDelete
  4. wahahahhahahahaha kamu selalu bisa membaca saya dearr, tidaaaaaaaak :">

    ReplyDelete

hey, you should leave a trace :D