Untuk semesta,
dan kejutan-kejutan kecil yang tak habis-habisnya.
Jika aku diminta menyebutkan satu masa yang paling kuingat tentangmu semesta, maka dalam sekejap hipokampusku merujuk Desember itu. Neuron korteksku akan dengan cepat membongkar kembali satu ingatan kental tentang masa dimana aku berada dalam sebuah titik. Pemberhentian. Masa dimana aku sudah menerima segala yang akan semesta limpahkan padaku, sebab aku serasa habis dirampok dunia. Persahabatanku tengah dirajang, dikoyak-koyak, hatikupun rusak. Cinta memalingkan wajahnya dariku, saat itu. Membuat aku meng-ah sudahlah-kan segala. Menyerah. Kukira semesta memintaku untuk duduk berlutut mengangkat tangan tanda berpasrah. Maka itulah yang kulakukan. Aku menambal sulam perasaanku sendiri sambil setengah bersumpah, aku tak mau lagi menegur cinta dalam waktu berapa lama.
Namun kau sungguh lucu, semesta. Kau hantamkan aku padanya, kau pertemukan dua orang yang tengah tersesat mencari jejak kembali. Saling mencari tanpa sadar bahwa yang selama ini diinginkan, ada di sisi. Kau buat aku menelan ludahku, mencerna bulat-bulat janjiku bahwa aku ingin sendiri.
Luar biasa, semesta.
Lantas hari ini datang. Hari milikku dan miliknya. Hari dimana kami melarikan diri berdua. Menjelajah setiap sudut kota untuk menebar serbuk-serbuk kenang yang tak lekang hingga tua. Beribu rencana sudah terpeta jelas di kepala. "Kita akan naik sampan. Kita ke museum. Kita menonton pertunjukkan kapal terbang lalu duduk makan jagung menunggu petang."
Ah semesta, senang bermain-main kau rupanya. Kau jadikan hari ini sebagai hari yang bukan hanya aku, namun beratus ribu manusia menunggunya. Hari ini kau turunkan hujan, sebagai jawaban doa kami yang telah bosan menghirup asap dan merasai air ledeng yang asin. Kau tumpahkan air langit itu sebebas-bebasnya, menghapus habis segala rencana yang telah kubuat dengannya.
Aku tak sedang merutukmu, semesta. Tak mungkin aku mengumpat engkau yang telah membuat aku dan dia berpapas jalan. Aku menghormatimu, dan konspirasimu yang entah apa luar biasa. Maka di sinilah aku, memandangi pesan cinta darimu berupa rintik air meradu tanah. Sambil bersisian dengannya. Memutar lagi hujan kala lalu, dimana dia memaksa bertemu, padahal saat itu dia bukanlah sesiapaku...
Kutulis surat cinta yang terakhir ini untukmu semesta, sebagai tanda kita adalah dua sahabat lama. Satu saja, mohon jangan jadikan cinta yang satu ini percuma.. :)
Salam jari kelingking!
dan kejutan-kejutan kecil yang tak habis-habisnya.
Jika aku diminta menyebutkan satu masa yang paling kuingat tentangmu semesta, maka dalam sekejap hipokampusku merujuk Desember itu. Neuron korteksku akan dengan cepat membongkar kembali satu ingatan kental tentang masa dimana aku berada dalam sebuah titik. Pemberhentian. Masa dimana aku sudah menerima segala yang akan semesta limpahkan padaku, sebab aku serasa habis dirampok dunia. Persahabatanku tengah dirajang, dikoyak-koyak, hatikupun rusak. Cinta memalingkan wajahnya dariku, saat itu. Membuat aku meng-ah sudahlah-kan segala. Menyerah. Kukira semesta memintaku untuk duduk berlutut mengangkat tangan tanda berpasrah. Maka itulah yang kulakukan. Aku menambal sulam perasaanku sendiri sambil setengah bersumpah, aku tak mau lagi menegur cinta dalam waktu berapa lama.
Namun kau sungguh lucu, semesta. Kau hantamkan aku padanya, kau pertemukan dua orang yang tengah tersesat mencari jejak kembali. Saling mencari tanpa sadar bahwa yang selama ini diinginkan, ada di sisi. Kau buat aku menelan ludahku, mencerna bulat-bulat janjiku bahwa aku ingin sendiri.
Luar biasa, semesta.
Lantas hari ini datang. Hari milikku dan miliknya. Hari dimana kami melarikan diri berdua. Menjelajah setiap sudut kota untuk menebar serbuk-serbuk kenang yang tak lekang hingga tua. Beribu rencana sudah terpeta jelas di kepala. "Kita akan naik sampan. Kita ke museum. Kita menonton pertunjukkan kapal terbang lalu duduk makan jagung menunggu petang."
Ah semesta, senang bermain-main kau rupanya. Kau jadikan hari ini sebagai hari yang bukan hanya aku, namun beratus ribu manusia menunggunya. Hari ini kau turunkan hujan, sebagai jawaban doa kami yang telah bosan menghirup asap dan merasai air ledeng yang asin. Kau tumpahkan air langit itu sebebas-bebasnya, menghapus habis segala rencana yang telah kubuat dengannya.
Aku tak sedang merutukmu, semesta. Tak mungkin aku mengumpat engkau yang telah membuat aku dan dia berpapas jalan. Aku menghormatimu, dan konspirasimu yang entah apa luar biasa. Maka di sinilah aku, memandangi pesan cinta darimu berupa rintik air meradu tanah. Sambil bersisian dengannya. Memutar lagi hujan kala lalu, dimana dia memaksa bertemu, padahal saat itu dia bukanlah sesiapaku...
Kutulis surat cinta yang terakhir ini untukmu semesta, sebagai tanda kita adalah dua sahabat lama. Satu saja, mohon jangan jadikan cinta yang satu ini percuma.. :)
Salam jari kelingking!
untukmu, dan hujan hari ini
by
Isma Hadiatmaja
on
4:22:00 PM
Untuk semesta, dan kejutan-kejutan kecil yang tak habis-habisnya. Jika aku diminta menyebutkan satu masa yang paling kuingat tentangmu se...