"Nya, kok melamun?"
Anya tersentak, menoleh ke arah Tasha yang memergokinya terbengong, entah sudah berapa lama.
"Iya nih, aku lagi mikir."
"Mikir apaan?"
"Tiap liat pasien tua, suami istri, aku mikir, hebat juga ya cinta. Kadang suaminya udah nggak gagah, sakit parah nggak bisa apa-apa, tapi istrinya setia ngerawat dan ngejaga. Atau kalau liat nenek-nenek tua keriput udah nggak cantik lagi, tapi suaminya masih setia duduk nunggu di sebelah."
"Haha, iya.. aku juga kadang terharu liatnya. Itu cinta apa karna udah terbiasa sama-sama ya? Semacam manisfestasi dari komitmen gitu?"
"Nggak tau juga sih, Sha. Tapi yang jelas apapun itu, aku takjub. Bisa juga ya dua orang yang sebetulnya ga punya hubungan apa-apa, dua orang yang dulunya asing, lalu mutusin buat bersama. Sampe tua, sampe sakit, senang susah, sama-sama. For better for worse.
Tasha tersenyum.
Anya melanjutkan, "Aku jadi kepikiran aja kadang, apa nanti ada yang bisa kayak gitu sama aku? Hahaha."
"Duh, kamu tuh ya Nya. Apa-apa selalu dibawa perasaan pribadi hahahaha."
Anya tertawa, pipinya menyemburat dadu.
"Abisnya gimana ya Sha.. kadang aku mikir, aku ini banyak kurangnya. Pinter nggak juga, tinggi nggak juga, cantik nggak juga. Serba pas-pasan hahaha."
"Hahaha...mulai deh pesimis. Duh Nya, kamu tuh lucu ya. Biasanya optimis banget tapi kalo lagi kambuh pesimisnya kayak idup kamu tuh susah banget hahaha." Tasha menggeleng-gelengkan kepala melihat Anya.
Anya memutar-mutar ujung stetoskopnya, pandangannya masih mengarah ke pasien tadi, "Soalnya Tasha, manusia itu pasti ada kurangnya. Aku banyak kurangnya."
Tasha tergelak, "Hahaha...Nya, inget ga, kamu pernah bilang sama aku, 'Sha, suatu saat nanti, bakalan ada orang yang menerima kita apa adanya. Dan kita terima dia apa adanya. Seseorang yang bikin kita ngerasa, waktu sama dia, kita punya kepercayaan diri. Yang bikin kita lupa kalau kita penuh kekurangan, karna apa adanya kita cukup untuk dia. Dan dia cukup untuk kita.' ...ya kan? Aku ngerasa omongan kamu bener, makanya aku inget banget. Kenapa tiba-tiba kamu jadi pesimis gini hahaha."
"Iya sih ya..." Anya memutar bola matanya, "Mungkin ini lagi masa-masanya aku jadi mikir, apa bakal beneran ada seseorang yang kayak gitu, hahaha."
"Mungkin.. emangnya nggak ada?" Tasha menjawil pipi Anya.
"Ngg.. nggak tau sih, emangnya ada?" Ia mengangkat alisnya.
Tasha tertawa, "Hahaha, yaudah deh nggak usah dipikirin. Ntar juga ada. Ayo dong, biasanya kamu yang optimis." Tasha beranjak dari duduknya, menepuk pundak Anya lantas berjalan ke arah pasien di bed seberang dari mereka duduk.
Anya menggigit bibir. Sebetulnya saat Tasha berkata tentang 'seseorang' itu, satu sosok manusia melintas di kepalanya.
Hanya beberapa detik saja.
Ia tertawa sejenak, membayangkan tawa Satrio setiap mereka bersama. Seolah-olah setiap yang ia lakukan, berharga. Seolah-olah ia tak memiliki cela. Seolah-olah kurang padanya, tak lagi ada.
Lelaki itu membuatnya merasa cukup.
Dan baginya, itu cukup.
Anya tersentak, menoleh ke arah Tasha yang memergokinya terbengong, entah sudah berapa lama.
"Iya nih, aku lagi mikir."
"Mikir apaan?"
"Tiap liat pasien tua, suami istri, aku mikir, hebat juga ya cinta. Kadang suaminya udah nggak gagah, sakit parah nggak bisa apa-apa, tapi istrinya setia ngerawat dan ngejaga. Atau kalau liat nenek-nenek tua keriput udah nggak cantik lagi, tapi suaminya masih setia duduk nunggu di sebelah."
"Haha, iya.. aku juga kadang terharu liatnya. Itu cinta apa karna udah terbiasa sama-sama ya? Semacam manisfestasi dari komitmen gitu?"
"Nggak tau juga sih, Sha. Tapi yang jelas apapun itu, aku takjub. Bisa juga ya dua orang yang sebetulnya ga punya hubungan apa-apa, dua orang yang dulunya asing, lalu mutusin buat bersama. Sampe tua, sampe sakit, senang susah, sama-sama. For better for worse.
Tasha tersenyum.
Anya melanjutkan, "Aku jadi kepikiran aja kadang, apa nanti ada yang bisa kayak gitu sama aku? Hahaha."
"Duh, kamu tuh ya Nya. Apa-apa selalu dibawa perasaan pribadi hahahaha."
Anya tertawa, pipinya menyemburat dadu.
"Abisnya gimana ya Sha.. kadang aku mikir, aku ini banyak kurangnya. Pinter nggak juga, tinggi nggak juga, cantik nggak juga. Serba pas-pasan hahaha."
"Hahaha...mulai deh pesimis. Duh Nya, kamu tuh lucu ya. Biasanya optimis banget tapi kalo lagi kambuh pesimisnya kayak idup kamu tuh susah banget hahaha." Tasha menggeleng-gelengkan kepala melihat Anya.
Anya memutar-mutar ujung stetoskopnya, pandangannya masih mengarah ke pasien tadi, "Soalnya Tasha, manusia itu pasti ada kurangnya. Aku banyak kurangnya."
Tasha tergelak, "Hahaha...Nya, inget ga, kamu pernah bilang sama aku, 'Sha, suatu saat nanti, bakalan ada orang yang menerima kita apa adanya. Dan kita terima dia apa adanya. Seseorang yang bikin kita ngerasa, waktu sama dia, kita punya kepercayaan diri. Yang bikin kita lupa kalau kita penuh kekurangan, karna apa adanya kita cukup untuk dia. Dan dia cukup untuk kita.' ...ya kan? Aku ngerasa omongan kamu bener, makanya aku inget banget. Kenapa tiba-tiba kamu jadi pesimis gini hahaha."
"Iya sih ya..." Anya memutar bola matanya, "Mungkin ini lagi masa-masanya aku jadi mikir, apa bakal beneran ada seseorang yang kayak gitu, hahaha."
"Mungkin.. emangnya nggak ada?" Tasha menjawil pipi Anya.
"Ngg.. nggak tau sih, emangnya ada?" Ia mengangkat alisnya.
Tasha tertawa, "Hahaha, yaudah deh nggak usah dipikirin. Ntar juga ada. Ayo dong, biasanya kamu yang optimis." Tasha beranjak dari duduknya, menepuk pundak Anya lantas berjalan ke arah pasien di bed seberang dari mereka duduk.
Anya menggigit bibir. Sebetulnya saat Tasha berkata tentang 'seseorang' itu, satu sosok manusia melintas di kepalanya.
Hanya beberapa detik saja.
Ia tertawa sejenak, membayangkan tawa Satrio setiap mereka bersama. Seolah-olah setiap yang ia lakukan, berharga. Seolah-olah ia tak memiliki cela. Seolah-olah kurang padanya, tak lagi ada.
Lelaki itu membuatnya merasa cukup.
Dan baginya, itu cukup.
hanya beberapa detik
by
Isma Hadiatmaja
on
10:02:00 PM
"Nya, kok melamun?" Anya tersentak, menoleh ke arah Tasha yang memergokinya terbengong, entah sudah berapa lama. "Iya nih, ...