peringatan!
Salam sayang selalu,
Saya tidak menuliskan ini untuk menghakimi, mengadili, menuduh, atau apapunlah yang artinya mirip dengan kata-kata itu, meskipun jika nanti surat ini terdengar seperti menghakimi, mengadili, atau menuduh kamu.
Saya kecewa dengan kamu. Sungguh kecewa.
Belasan tahun lalu saya mengenali kamu sebagai seseorang yang penuh motivasi, berambisi (yang sehat), berkeinginan kuat untuk dapat terus-menerus menjadi kamu yang lebih baik. Namun sekarang, yang saya lihat kamu selalu merasa cukup (dalam pengartian yang salah, tentunya). Kamu merasa kamu sudah cukup baik, sudah cukup benar, sehingga kamu berhenti memperbaiki diri kamu. Saya beritahu, itu salah.
Belasan tahun yang lalu, saya mengenalimu sebagai seseorang yang tahu betul apa yang kamu mau. Kamu senang membaca. Kamu membaca di mana saja, kapan saja, sampai-sampai orang-orang di sekitarmu heran melihatmu yang tak pernah lepas dari buku. Selain itu, kamu senang menulis. Entah puisi, cerita pendek, prosa-prosa sederhana, atau sesederhana menulisi buku harian sebanyak minimal satu halaman setiap hari. Sekarang apa? Passionmu entah apa, entah pergi kemana. Bukankah itu memalukan untukmu?
Kamu selalu menyalahkan keadaan atas ketidak-sediaan kamu. Kamu menyalahkan waktu yang menurutmu terlalu sempit, sehingga membaca satu bab buku pun kau bilang sulit. Kamu menyalahkan kesibukan yang menurut saya, kamu buat-buat sendiri. Sehingga menurutmu menulis itu sangat mengganggu irama aktivitasmu yang (katamu) padat. Kamu menyalahkan tugas-tugasmu, kamu menyalahkan finansialmu atas ketak-bisaanmu mengantongi buku baru. Padahal yang saya lihat, kamu enteng-enteng saja keluar puluhan ribu hanya untuk mengisi perutmu. Saya beri tahu, otakmu itu kelaparan..! Butuh bacaan, butuh hiburan, butuh jendela dengan pemandangan baru, bukan yang itu-itu melulu. Tidak tahukan kamu bahwa jiwamu bosan, hilang warna hidupmu hanya karena kamu berhenti melakukan hal yang baik dengan alasan yang tak tentu.
Membacalah lagi. Yang banyak. Semakin banyak. Kamu belasan tahun lalu saja mungkin tertawa mengejek atau malu melihatmu. Menulislah lagi. Isi kepalamu terlalu berharga untuk kau telan sendiri. Tidakkah kau rindu ketika otakmu penuh isi lalu idemu bergelimpang-limpang dan kau dengan girang menangkapnya satu-satu dengan penamu?
Saya tidak ingin dengar alasan apapun. Capek, malas, banyak kegiatan, banyak tugas, skripsi belum selesai, belajar ujian, ah... yang kulihat kau terlalu banyak bermain atau menonton yang tak jelas. Bukan keadaan yang mengendalikan kamu, tapi kamu yang mengendalikan keadaan. Kamu harus ingat itu.
Baiklah, cukup disini. Saya camkan sekali lagi, dirimu yang dulu itu sedang tertidur, ia setengah mati minta dibangunkan.
Dari saya
untuk kamu, diri saya sendiri. Di masa kini.
Saya tidak menuliskan ini untuk menghakimi, mengadili, menuduh, atau apapunlah yang artinya mirip dengan kata-kata itu, meskipun jika nanti surat ini terdengar seperti menghakimi, mengadili, atau menuduh kamu.
Saya kecewa dengan kamu. Sungguh kecewa.
Belasan tahun lalu saya mengenali kamu sebagai seseorang yang penuh motivasi, berambisi (yang sehat), berkeinginan kuat untuk dapat terus-menerus menjadi kamu yang lebih baik. Namun sekarang, yang saya lihat kamu selalu merasa cukup (dalam pengartian yang salah, tentunya). Kamu merasa kamu sudah cukup baik, sudah cukup benar, sehingga kamu berhenti memperbaiki diri kamu. Saya beritahu, itu salah.
Belasan tahun yang lalu, saya mengenalimu sebagai seseorang yang tahu betul apa yang kamu mau. Kamu senang membaca. Kamu membaca di mana saja, kapan saja, sampai-sampai orang-orang di sekitarmu heran melihatmu yang tak pernah lepas dari buku. Selain itu, kamu senang menulis. Entah puisi, cerita pendek, prosa-prosa sederhana, atau sesederhana menulisi buku harian sebanyak minimal satu halaman setiap hari. Sekarang apa? Passionmu entah apa, entah pergi kemana. Bukankah itu memalukan untukmu?
Kamu selalu menyalahkan keadaan atas ketidak-sediaan kamu. Kamu menyalahkan waktu yang menurutmu terlalu sempit, sehingga membaca satu bab buku pun kau bilang sulit. Kamu menyalahkan kesibukan yang menurut saya, kamu buat-buat sendiri. Sehingga menurutmu menulis itu sangat mengganggu irama aktivitasmu yang (katamu) padat. Kamu menyalahkan tugas-tugasmu, kamu menyalahkan finansialmu atas ketak-bisaanmu mengantongi buku baru. Padahal yang saya lihat, kamu enteng-enteng saja keluar puluhan ribu hanya untuk mengisi perutmu. Saya beri tahu, otakmu itu kelaparan..! Butuh bacaan, butuh hiburan, butuh jendela dengan pemandangan baru, bukan yang itu-itu melulu. Tidak tahukan kamu bahwa jiwamu bosan, hilang warna hidupmu hanya karena kamu berhenti melakukan hal yang baik dengan alasan yang tak tentu.
Membacalah lagi. Yang banyak. Semakin banyak. Kamu belasan tahun lalu saja mungkin tertawa mengejek atau malu melihatmu. Menulislah lagi. Isi kepalamu terlalu berharga untuk kau telan sendiri. Tidakkah kau rindu ketika otakmu penuh isi lalu idemu bergelimpang-limpang dan kau dengan girang menangkapnya satu-satu dengan penamu?
Saya tidak ingin dengar alasan apapun. Capek, malas, banyak kegiatan, banyak tugas, skripsi belum selesai, belajar ujian, ah... yang kulihat kau terlalu banyak bermain atau menonton yang tak jelas. Bukan keadaan yang mengendalikan kamu, tapi kamu yang mengendalikan keadaan. Kamu harus ingat itu.
Baiklah, cukup disini. Saya camkan sekali lagi, dirimu yang dulu itu sedang tertidur, ia setengah mati minta dibangunkan.
Dari saya
untuk kamu, diri saya sendiri. Di masa kini.
surat yang lucu :D semangat yang hadir dari diri sendiri
ReplyDeletesemangat menulisnya juga yaaaa
- ika, tukangpos
Lucu & jujur.. semangat ya...
ReplyDeletekak ika: aww makasih kak, iyaa semangaaat \o/
ReplyDeletemas-mas yang nulis surat untuk mbak W: hehe terima kasih yaa udah baca :D