mudah saja
Langit masih berwarna kelabu. Hujan baru saja berhenti setelah turun sederas – derasnya sejak pagi, menumpahkan tetes demi tetes air ke bumi. Bau daun – daun basah menguar, memberikan efek kesejukan jika menghirupnya.
Rena merapatkan tubuhnya. Sedikit menggigil akibat sejuk. Matanya sayu, ia sangat mengantuk. Hawa seperti ini adalah hawa yang paling ideal untuk tidur, bukannya untuk mendengarkan berbagai pemaparan teori atom mulai dari yang paling sederhana seperti yang diungkapkan Demokritus bahwa unsur terkecil suatu benda ialah atom, atau yang kompleks seperti teori atom Niels Bohr dan teori Mekanika Kuantum. Ah! Seperti mendengar dongeng sebelum tidur!
Ia lalu mengerling ke arah jam dinding. Masih lama, empat puluh menit lagi. Rasanya waktu berjalan sejuta kali lebih lambat siang ini. Pikirannya lalu bermain sendiri, berimajinasi, lalu tanpa sengaja teringat hal yang paling ia hindari…
Fathir. Mengingat nama itu saja bisa membawa beribu perasaan menyiksa. Seakan – akan semuanya memberontak di dada, ingin dikeluarkan paksa. Rena menarik nafas panjang, teringat sebuah kejadian yang masih teringat jelas di benaknya.
Malam itu seharusnya akan jadi malam yang sama seperti malam biasanya kalau saja Fathir tidak datang ke rumahnya mendadak. Tanpa memberitahu apa – apa. Rena tentu saja terkejut, walaupun ada perasaan senang yang melesak – lesak di hatinya. Fathir! Betapa ia sangat rindu padanya. Sangat – sangat rindu, hingga perasaan itu terkadang tak dapat diungkapkan lagi oleh kata – kata.
“Ada apa?” tanyanya riang setelah mempersilahkan Fathir duduk.
“Hmm, cuma numpang singgah. Tadi kebetulan lewat sini.” Jawab Fathir.
“You’re not good at lying, you know that?” Rena tertawa kecil. Basa – basi lama!
“Yeaah, I know. But you know what? I’m missing you that’s why I’m here…”
DEG!
Jantung Rena tiba – tiba saja berdetak lebih keras. Waktu serasa berhenti seketika.
Rena diam sejenak. Ia ingin sekali berkata bahwa ia juga merindukan Fathir sama besarnya. Bahkan mungkin lebih besar. Setiap hari, setiap menit, setiap detik mungkin selalu dihabiskan Rena untuk merindukannya. Tapi ia lantas teringat sesuatu.
“Hmm.. Dian tahu kamu kesini?” tanyanya hati – hati. Sekaligus takut.
“Nggak. Dia nggak tahu…” Fathir menunduk. Wajahnya semakin tak tampak.
Rena menghembuskan nafas berat. Hhh.. sudah disangka. Inilah yang paling ditakutkannya. Fathir… datang kesini tanpa sepengetahuan Dian. Fathir malah mengatakan hal – hal yang seharusnya tidak dikatakan kepadanya. Ini salah. Ini tidak seharusnya terjadi.
“Aku.. masih sayang sama kamu, Ren…” ungkap Fathir lamat – lamat.
Rena tersentak. Tak dipungkiri, batinnya bergejolak senang tapi akal sehatnya mengingatkannya kepada Dian dan perasaan bersalah kembali menyelimutinya.
"Aku juga sayang kamu. Tapi kamu…, Dian…” Rena sengaja menggantung kalimatnya. Membiarkan diam menyelesaikan.
Keduanya larut dalam diam. Semuanya sibuk dengan pikiran sendiri – sendiri. Sibuk menyusun kata – kata apa yang harus diucapkan saat itu.
Hati Rena gemuruh. Pikirannya berkecamuk hebat. Kata – kata Fathir tadi jelas membuatnya senang. Rasanya bahkan lebih membahagiakan dibandingkan mendapat nilai 90 di pelajaran Fisika. Tapi Fathir milik Dian, bukan miliknya lagi. Dan karna itulah, ia merasa sangat bersalah. Dia sekarang tidak punya hak apa – apa. Kata – kata tadi bukanlah miliknya, melainkan milik Dian. Tidak seharusnya tertuju padanya, tapi pada aDian..
Namun di sisi lain, pengharapan Rena juga kembali membunga. Ia pun tak bisa menyangkal ia masih menginginkan Fathir dan jelas ia tak rela jika Dian merebut tempat yang seharusnya menjadi miliknya. Jikalau Fathir masih menyayanginya, bukankah seharusnya ia yang bersama Fathir bukan malah Dian?
“Kamu nggak bisa putusin dia ya?” kata – kata itu meluncur begitu saja dari mulut Rena. Memecah keheningan.
Fathir diam dan terlihat berpikir keras. Rena menunggu respon dengan gugup.
“Ini nggak sesimpel kelihatannya, Rena. Aku nggak mau nyakitin siapapun, termasuk Dian…”
“Tapi kalau kayak gini, kamu nyakitin aku….!”
“Aku– ah.. Aku nggak bermaksud nyakitin kamu. Aku bingung aku harus gimana. Dian.., dia nggak tahu apa – apa. Aku nggak akan bisa tiba – tiba ninggalin dia. Kamu tau kan posisi aku gimana…”
Rena jelas tahu. Tanpa perlu diberi tahu pun ia telah mengerti betul. Tapi ia juga tak terima dengan jawaban Fathir tadi. Hatinya memprotes keras. Seharusnya Fathir kembali saja padanya. Seharusnya Fathir meninggalkan Dian untuknya. Toh yang Fathir inginkan ialah dia, bukan Dian? Bukankah akan lebih baik jika kita bersama orang yang kita inginkan dan juga menginginkan kita?
“Aku mau kamu, Ren. Tapi aku nggak bisa putus dengan Dian gitu aja. Coba kamu yang di posisi Dian. Pasti sakit diputusin tanpa sebab. Kamu nggak salah apa – apa, nggak tau apa – apa tapi hubungan kamu berakhir gitu aja. Nggak adil kan rasanya? Dan lagi, aku harus bilang apa sama Dian? Gimana cara aku ngejelasin ke dia supaya aku bisa putus sama dia? Aku serba salah, Rena…” Fathir mencoba membuat Rena mengerti kesulitannya.
Rena mau tak mau mengakui bahwa ucapan Fathir memang benar. Ini tak adil buat Dian. Sama sekali.
“Hah, sudahlah. Jangan dibahas lagi.” Rena menyerah.
Fathir menarik nafas panjang. Ia lalu pamit untuk pulang. Sudah larut malam. Rena mengantarkannya hingga ke depan rumah. Ada perasaan berat melepaskan, seakan ada perasaan yang belum terselesaikan. Ia sebenarnya masih tak puas. Untuk apa Fathir datang kalau hanya menorehkan luka sekali lagi? Luka yang justru terasa lebih dalam.
Sebelum pulang, Fathir memandanginya sekali lagi, seolah – olah akan meninggalkan Rena untuk selamanya.
“Satu hal,” tukas Rena ketika Fathir menghidupkan motornya.
“Apa?”
“Bukan cuma kamu yang rindu. Aku juga…” ucap Rena diiringi dengan senyum dan air mata yang dipaksa setengah mati agar tak keluar.
Fathir tersenyum. Ia menutup kaca helm, lalu melesat dengan motornya. Pergi. Ditelan malam.
Rena menangis sejadi – jadinya, seperti air mata diciptakan memang untuk dibuang begitu saja. Semua beban ingin dikeluarkan bersama – sama dengan air mata yang tak henti – henti menetes ke pipinya. Ia telah merasakan berbagai jenis rasa sakit, tetapi sepertinya rasa sakit inilah yang paling menusuk jiwa.
"Hoy! Ngelamun aja! Nggak nyatat?” tepukan kecil Nita mengejutkan Rena. Menghamburkan potongan – potongan cerita lama yang berputar dalam otaknya. Rena sontak memandangi jam. Sepuluh menit lagi bel sekolah berbunyi. Ia bahkan tak sadar apa yang terjadi di kelas selama tiga puluh menit tadi. Nita menatapnya heran.
“Eh, lo kenapa? Sakit?” tanyanya khawatir. Rena menggeleng pelan. Ia memberi isyarat pada Nita untuk kembali fokus pada penjelasan di depan. Ia pun mencoba mengembalikan konsentrasinya ke pelajaran. Sebisa mungkin dicobanya untuk mengerti penjelasan Pak Tanto yang kini sudah sampai pada spektrum atom Hidrogen. Namun ternyata sangat sulit, mengingat masih ada hal yang menjadi beban pikirannya. Tak sampai dua menit, perhatiannya tak lagi tertuju pada Pak Tanto…
Beberapa hari sudah lewat sejak peristiwa malam itu. Jujur saja, sejak kejadian mengejutkan sekaligus menyakitkan tersebut, Rena tak bisa tenang. Batinnya bimbang dan benaknya seperti selalu terbebani oleh sesuatu. Lalu datanglah hari itu..
Handphone Rena berbunyi, dering yang sangat Rena kenal. Dari Fathir! Rena bergegas mengangkatnya.
“Halo…?”
“Halo, Ren…”
Rena tak ingat percakapan apapun setelah itu. Basa – basi biasa yang Rena sudah lupakan. Yang membekas hanyalah satu hal. Jelas dan tegas.
“Ren, aku mau kamu lupakan peristiwa malam itu… Bisa kan?” pinta Fathir, sepertinya setelah banyak pertimbangan.
Rena tak menjawab. Tanpa diminta, air mata meluncuri pipinya. Berlomba – lomba turun, membuat matanya basah dalam waktu singkat.
“Ren? Rena..?”
Sambungan telepon diputus seketika.
Beberapa saat kemudian tangisnya mereda. Ia telah banyak mengambil kesimpulan dalam air mata. Ia telah memantapkan hatinya untuk membuat sebuah keputusan. Keputusan yang sebenarnya tak pernah diinginkannya. Ia lalu menghubungi Fathir balik,
“Halo Ren? Kamu nggak papa kan?” dari suaranya, terdengar Fathir sangat cemas.
“Fathir…”
“Ya?”
“Lupakan aja kita pernah ada. Bisa kan?” pinta Rena. Tegas dan jelas. Ia lalu memutuskan sambungan telepon sebelum Fathir sempat menjawab sepatah kata pun…
Dering bel mengejutkan Rena. Membuat angan – angannya buyar. Rena seperti baru terbangun dari tidur. Nita mengguncang – guncangkan tubuh Rena, memastikan bahwa temannya itu tidak apa – apa.
“Gue nggak kenapa – kenapa kok, Nit. Ini gara – gara hujan nih, jadi ngantuk banget. Gue nyaris tidur tadi.” ujar Rena seraya mengemaskan buku – bukunya.
“Ya.. kirain aja lo jadi terpesona ngeliatin Pak Tanto. Hahaha…” tukas Nita, lega temannya baik – baik saja.
“Ya nggak lah, asal banget! Lo kali tuh, sampe nggak kedip gitu ngeliatinnya…” Rena balik meledek.
Mereka berjalan keluar kelas sambil tertawa bersama. Saling meledek dan bercanda lalu tertawa lagi. Rena sejenak lupa akan kesedihannya sampai saat tak sengaja matanya menangkap Fathir sedang berjalan dari kejauhan, ada Dian di sisinya.
Rena berhenti tertawa. Ia buru – buru mengalihkan perhatian pada Nita yang menyerocos tentang betapa dinginnya hari ini. Sesekali ia tertawa dan menanggapi temannya yang tak berhenti berceloteh itu.
Diam – diam Rena mencuri pandang ke arah Fathir dan Dian lagi. Hatinya menangis.
Mudah saja bagimu untuk melupakan peristiwa waktu itu…
"Kau tak berhak tanyakan keadaanku
Kau tak berhak tanyakan keadaanku
Mudah saja bagimu
Mudah saja untukmu
Andai saja cintamu seperti cintaku"
Malam itu mungkin bisa dikatakan malam paling melankolis bagi Fathir. Pikirannya galau, melayang – layang entah kemana. Beribu kata berkecamuk di kepalanya. Ia telah mencoba berbagai cara untuk menghilangkan perasaan aneh itu, tapi apapun yang ia coba lakukan tampaknya hanya memperburuk perasaannya.
Tak lama ia memutuskan untuk pergi keluar, menghirup udara malam. Ia mengambil kunci motor yang digantungnya di tempat biasa dan bergegas ke garasi. Ketika akan menghidupkan motor, handphonenya berbunyi. Panggilan masuk.
“Kamu lagi apa?” Dian.
“Ga lagi apa – apa kok.” jawabnya pendek.
“Hmm, udah makan?” tanya Dian lagi. Pertanyaan basi! Pikirnya malas.
“Udah. Kamu juga udah kan?”
“Belum nih, belum laper.” jawab Dian dengan nada manja, minta dibujuk.
“Makan gih sana, udah malem gini. Nanti mag kamu kambuh baru deh panik…” setengah hati ia membujuk Dian.
“Iyaa… nanti aku pasti makan kok. Kamu..”
“Dian, udahan dulu ya. Aku ngantuk banget hari ini. Aku pengen tidur…” Fathir memotong perkataan Dian.
“Oh…, gitu ya? Ya udah, kamu tidur aja. Selamat tidur ya. Miss you…”
Fathir terdiam sesaat. Beberapa detik hening, baru ia menjawab. Singkat.
“Miss you too.”
Pembicaraan terputus. Tanpa membuang lebih banyak waktu, ia langsung menghidupkan motornya dan melesat pergi. Sekarang ia sudah tahu harus kemana.
Fathir memencet bel ragu. Bisa saja semua orang di rumah itu mengomelinya atau menganggapnya tidak punya jam sampai – sampai bertamu semalam ini. Ia melirik sekilas ke jam tangannya. Setengah sembilan malam. Beruntung sekali kalau ia tak sampai diusir dari sini.
Pintu dibuka dan keluarlah gadis yang sepertinya jadi alasan kebimbangannya selama ini.
“Fathir?” nyata sekali gadis itu begitu terkejut atas kedatangannya. Ia pun dipersilahkan duduk.
“Ada apa?” dari nada bicaranya, gadis itu terkesan senang.
“Hmm, cuma numpang singgah. Tadi kebetulan lewat sini.” Jawabnya mencoba berbasa – basi.
“You’re not good at lying, you know that?” Ya, gadis yang bernama Rena ini terlalu kenal dia.
“Yeaah, I know. But you know what? I’m missing you that’s why I’m here…” Fathir tidak tahu mengapa kata – kata yang selama ini menggedor – gedor hatinya itu keluar begitu saja. Tapi jujur saja, setelah mengungkapkannya, ia merasa seribu kali lebih baik.
“Hmm, Dian tahu kamu kesini?” senyum Fathir lenyap seketika. Mengapa Rena harus menyinggung nama itu? keluhnya di dalam hati.
“Nggak. Dia nggak tahu.” jawabnya singkat, berharap Rena tak membicarakan Dian lagi.
Tapi ternyata, Rena justru jadi bungkam. Fathir pun semakin resah. Tiba – tiba saja ia merasa harus mengatakan apa yang sebetulnya tak boleh dikatakan.
“Aku.. masih sayang sama kamu, Ren…” ungkapnya perlahan.
“Aku juga sayang kamu. Tapi kamu…, Dian…” Fathir bisa melihat perubahan warna pada raut wajah Rena.
Nama itu lagi! Fathir memaki dalam hati. Pikirannya mendadak kembali kacau. Mereka jadi sama – sama diam. Canggung.
“Kamu nggak bisa putusin dia ya?” Jantung Fathir seperti ditarik paksa. Ia tahu, lama – kelamaan pertanyaan ini akan ditanyakan Rena dan sampai saat ini ia masih tak tahu harus menjawab apa.
“Ini nggak sesimpel kelihatannya, Rena. Aku nggak mau nyakitin siapapun, termasuk Dian…” ia berusaha agar tak terlihat gugup.
“Tapi kalau kayak gini, kamu nyakitin aku….!” nada suara Rena sedikit naik.
“Aku– ah.. Aku nggak bermaksud nyakitin kamu. Aku bingung aku harus gimana. Dian.., dia nggak tahu apa – apa. Aku nggak akan bisa tiba – tiba ninggalin dia. Kamu tau kan posisi aku gimana…” tiba - tiba saja wajah Dian membayanginya. Menghantuinya. Tiba – tiba ia jadi merasa sangat bersalah. Merasa tak seharusnya ini terjadi. Tiba – tiba ia terbayang Dian yang terluka apabila ia tahu tentang semua ini. Ia memang tak punya rasa yang lebih dalam untuk Dian sedalam rasanya pada Rena, tapi ia tetap tak suka perasaan tidak enak apabila ia menyakiti hati siapapun, apalagi Dian yang tak tahu apa – apa. Dian yang tak sengaja terseret dalam kehidupannya.
“Aku mau kamu, Ren. Tapi aku nggak bisa putus dengan Dian gitu aja. Coba kamu yang di posisi Dian. Pasti sakit diputusin tanpa sebab. Kamu nggak salah apa – apa, nggak tau apa – apa tapi hubungan kamu berakhir gitu aja. Nggak adil kan rasanya? Dan lagi, aku harus bilang apa sama Dian? Gimana cara aku ngejelasin ke dia supaya aku bisa putus sama dia? Aku serba salah, Rena…”
Fathir tahu Rena tak akan menerima penjelasannya. Ia menyumpah – nyumpah dirinya sendiri karena telah menyakiti hati gadis yang sangat disayanginya itu. Tapi mau bagaimana lagi, keadaan memaksanya untuk bersikap demikian.
“Hah, sudahlah. Jangan dibahas lagi.” tolak Rena lemah.
Sesungguhnya, Fathir berharap Rena memukuli atau memakinya saja.
Ia melihat jam tangannya, sudah sangat malam. Fathir permisi untuk pulang dengan perasaan tak lebih baik dari seorang pengecut dan pecundang. Ia memandang Rena, mencoba menunjukkan perasaan bersalah dari sorot matanya. Berharap dalam hati semoga Rena tak memutuskan kontak dengannya setelah ini.
“Satu hal,” baru saja Fathir menstarter motornya.
“Apa?” ia menoleh ke Rena dengan cemas.
“Bukan cuma kamu yang rindu. Aku juga…”
Hatinya mendadak berbunga. Ia lantas tersenyum dan pergi. Jauh meninggalkan Rena. Berharap dapat melupakan pancaran lembut matanya. Tapi yang dirasa hanyalah kepahitan.
Lalu hari itu, ia memutuskan untuk menelepon Rena.
“Halo?”
“Halo Ren..”
Basa basi biasa, lalu ia langsung pada inti pembicaraan. Ia tak boleh menunda – nunda lagi. Sebelum ia kembali merasa berat untuk mengatakannya.
“Ren, aku mau kamu lupakan peristiwa malam itu… Bisa kan?” pintanya setelah berkali – kali menghela nafas panjang.
Lama Fathir menunggu reaksi dari Rena, tapi lawan bicaranya di seberang itu tak mengeluarkan sepatah kata pun. Hanya diam.
“Ren? Rena..?” panggilnya. Memastikan komunikasi itu bukanlah komunikasi searah.
Tut.. tut.. tut… Telepon diputus.
Inilah yang Fathir takutkan. Ia telah menyiapkan sejuta argumen dan alasan untuk berbagai tanggapan yang kemungkinan akan dilontarkan Rena. Tapi ia tak punya persiapan apa – apa jika Rena menanggapinya dengan cara seperti ini. Dengan membungkam. Ia ingin menelpon Rena lagi tapi takut panggilannya hanya sia – sia. Ia memutuskan untuk menunggu saja, sambil memikirkan harus berbuat apa ketika tak lama handphonenya berdering. Rena menelponnya balik.
Ragu, dijawabnya telepon dari Rena penuh bimbang, “Halo Ren? Kamu nggak papa kan?”
“Fathir…”
“Ya?”
“Lupakan aja kita pernah ada. Bisa kan?”
Permintaan Rena ini terdengar seperti teriakan skak mat baginya.
“Kita mau makan dimana?” Dian memandangnya dengan tatapan sayang.
“Hmm, di tempat kemarin juga enak. Terserah kamu sih, kamu lagi pengen makan apa. Aku fleksibel kok.” jawabnya lembut.
“Oke deh. Makan sushi aja ya. Aku lagi ngidam nih.” Dian mencoba bergurau.
“Ngidam? Kayak ibu – ibu hamil aja…” Fathir tertawa kecil, menanggapi gurauan Dian. Ia berusaha menampilkan senyuman termanis. Setelah Dian tak memperhatikannya, ia mengedarkan pandangan ke penjuru sekolah lalu secara spontan memusatkan perhatiannya ke arah kelas Rena. Tanpa sadar, matanya mencari – cari sosok gadis itu. Ia menoleh lagi ke belakang. Melihat Rena yang sedang bersenda gurau dengan Nita. Menikmati cara tertawa Rena yang lepas sambil berharap ia juga dapat tertawa lepas seperti itu tiap kali Dian membuatnya berada di dalam situasi yang mengharuskannya untuk tertawa.
Pikirannya memutar kembali kenangan – kenangan bersama Rena, dan entah mengapa hatinya terasa perih luar biasa.
Mudah saja bagimu menganggap kita tidak pernah ada…
"Mudah saja bagimu
Mudah saja untukmu
Coba saja lukamu seperti lukaku"
(Sheila On 7 - Mudah Saja)
Rena merapatkan tubuhnya. Sedikit menggigil akibat sejuk. Matanya sayu, ia sangat mengantuk. Hawa seperti ini adalah hawa yang paling ideal untuk tidur, bukannya untuk mendengarkan berbagai pemaparan teori atom mulai dari yang paling sederhana seperti yang diungkapkan Demokritus bahwa unsur terkecil suatu benda ialah atom, atau yang kompleks seperti teori atom Niels Bohr dan teori Mekanika Kuantum. Ah! Seperti mendengar dongeng sebelum tidur!
Ia lalu mengerling ke arah jam dinding. Masih lama, empat puluh menit lagi. Rasanya waktu berjalan sejuta kali lebih lambat siang ini. Pikirannya lalu bermain sendiri, berimajinasi, lalu tanpa sengaja teringat hal yang paling ia hindari…
Fathir. Mengingat nama itu saja bisa membawa beribu perasaan menyiksa. Seakan – akan semuanya memberontak di dada, ingin dikeluarkan paksa. Rena menarik nafas panjang, teringat sebuah kejadian yang masih teringat jelas di benaknya.
Malam itu seharusnya akan jadi malam yang sama seperti malam biasanya kalau saja Fathir tidak datang ke rumahnya mendadak. Tanpa memberitahu apa – apa. Rena tentu saja terkejut, walaupun ada perasaan senang yang melesak – lesak di hatinya. Fathir! Betapa ia sangat rindu padanya. Sangat – sangat rindu, hingga perasaan itu terkadang tak dapat diungkapkan lagi oleh kata – kata.
“Ada apa?” tanyanya riang setelah mempersilahkan Fathir duduk.
“Hmm, cuma numpang singgah. Tadi kebetulan lewat sini.” Jawab Fathir.
“You’re not good at lying, you know that?” Rena tertawa kecil. Basa – basi lama!
“Yeaah, I know. But you know what? I’m missing you that’s why I’m here…”
DEG!
Jantung Rena tiba – tiba saja berdetak lebih keras. Waktu serasa berhenti seketika.
Rena diam sejenak. Ia ingin sekali berkata bahwa ia juga merindukan Fathir sama besarnya. Bahkan mungkin lebih besar. Setiap hari, setiap menit, setiap detik mungkin selalu dihabiskan Rena untuk merindukannya. Tapi ia lantas teringat sesuatu.
“Hmm.. Dian tahu kamu kesini?” tanyanya hati – hati. Sekaligus takut.
“Nggak. Dia nggak tahu…” Fathir menunduk. Wajahnya semakin tak tampak.
Rena menghembuskan nafas berat. Hhh.. sudah disangka. Inilah yang paling ditakutkannya. Fathir… datang kesini tanpa sepengetahuan Dian. Fathir malah mengatakan hal – hal yang seharusnya tidak dikatakan kepadanya. Ini salah. Ini tidak seharusnya terjadi.
“Aku.. masih sayang sama kamu, Ren…” ungkap Fathir lamat – lamat.
Rena tersentak. Tak dipungkiri, batinnya bergejolak senang tapi akal sehatnya mengingatkannya kepada Dian dan perasaan bersalah kembali menyelimutinya.
"Aku juga sayang kamu. Tapi kamu…, Dian…” Rena sengaja menggantung kalimatnya. Membiarkan diam menyelesaikan.
Keduanya larut dalam diam. Semuanya sibuk dengan pikiran sendiri – sendiri. Sibuk menyusun kata – kata apa yang harus diucapkan saat itu.
Hati Rena gemuruh. Pikirannya berkecamuk hebat. Kata – kata Fathir tadi jelas membuatnya senang. Rasanya bahkan lebih membahagiakan dibandingkan mendapat nilai 90 di pelajaran Fisika. Tapi Fathir milik Dian, bukan miliknya lagi. Dan karna itulah, ia merasa sangat bersalah. Dia sekarang tidak punya hak apa – apa. Kata – kata tadi bukanlah miliknya, melainkan milik Dian. Tidak seharusnya tertuju padanya, tapi pada aDian..
Namun di sisi lain, pengharapan Rena juga kembali membunga. Ia pun tak bisa menyangkal ia masih menginginkan Fathir dan jelas ia tak rela jika Dian merebut tempat yang seharusnya menjadi miliknya. Jikalau Fathir masih menyayanginya, bukankah seharusnya ia yang bersama Fathir bukan malah Dian?
“Kamu nggak bisa putusin dia ya?” kata – kata itu meluncur begitu saja dari mulut Rena. Memecah keheningan.
Fathir diam dan terlihat berpikir keras. Rena menunggu respon dengan gugup.
“Ini nggak sesimpel kelihatannya, Rena. Aku nggak mau nyakitin siapapun, termasuk Dian…”
“Tapi kalau kayak gini, kamu nyakitin aku….!”
“Aku– ah.. Aku nggak bermaksud nyakitin kamu. Aku bingung aku harus gimana. Dian.., dia nggak tahu apa – apa. Aku nggak akan bisa tiba – tiba ninggalin dia. Kamu tau kan posisi aku gimana…”
Rena jelas tahu. Tanpa perlu diberi tahu pun ia telah mengerti betul. Tapi ia juga tak terima dengan jawaban Fathir tadi. Hatinya memprotes keras. Seharusnya Fathir kembali saja padanya. Seharusnya Fathir meninggalkan Dian untuknya. Toh yang Fathir inginkan ialah dia, bukan Dian? Bukankah akan lebih baik jika kita bersama orang yang kita inginkan dan juga menginginkan kita?
“Aku mau kamu, Ren. Tapi aku nggak bisa putus dengan Dian gitu aja. Coba kamu yang di posisi Dian. Pasti sakit diputusin tanpa sebab. Kamu nggak salah apa – apa, nggak tau apa – apa tapi hubungan kamu berakhir gitu aja. Nggak adil kan rasanya? Dan lagi, aku harus bilang apa sama Dian? Gimana cara aku ngejelasin ke dia supaya aku bisa putus sama dia? Aku serba salah, Rena…” Fathir mencoba membuat Rena mengerti kesulitannya.
Rena mau tak mau mengakui bahwa ucapan Fathir memang benar. Ini tak adil buat Dian. Sama sekali.
“Hah, sudahlah. Jangan dibahas lagi.” Rena menyerah.
Fathir menarik nafas panjang. Ia lalu pamit untuk pulang. Sudah larut malam. Rena mengantarkannya hingga ke depan rumah. Ada perasaan berat melepaskan, seakan ada perasaan yang belum terselesaikan. Ia sebenarnya masih tak puas. Untuk apa Fathir datang kalau hanya menorehkan luka sekali lagi? Luka yang justru terasa lebih dalam.
Sebelum pulang, Fathir memandanginya sekali lagi, seolah – olah akan meninggalkan Rena untuk selamanya.
“Satu hal,” tukas Rena ketika Fathir menghidupkan motornya.
“Apa?”
“Bukan cuma kamu yang rindu. Aku juga…” ucap Rena diiringi dengan senyum dan air mata yang dipaksa setengah mati agar tak keluar.
Fathir tersenyum. Ia menutup kaca helm, lalu melesat dengan motornya. Pergi. Ditelan malam.
Rena menangis sejadi – jadinya, seperti air mata diciptakan memang untuk dibuang begitu saja. Semua beban ingin dikeluarkan bersama – sama dengan air mata yang tak henti – henti menetes ke pipinya. Ia telah merasakan berbagai jenis rasa sakit, tetapi sepertinya rasa sakit inilah yang paling menusuk jiwa.
-0-
"Hoy! Ngelamun aja! Nggak nyatat?” tepukan kecil Nita mengejutkan Rena. Menghamburkan potongan – potongan cerita lama yang berputar dalam otaknya. Rena sontak memandangi jam. Sepuluh menit lagi bel sekolah berbunyi. Ia bahkan tak sadar apa yang terjadi di kelas selama tiga puluh menit tadi. Nita menatapnya heran.
“Eh, lo kenapa? Sakit?” tanyanya khawatir. Rena menggeleng pelan. Ia memberi isyarat pada Nita untuk kembali fokus pada penjelasan di depan. Ia pun mencoba mengembalikan konsentrasinya ke pelajaran. Sebisa mungkin dicobanya untuk mengerti penjelasan Pak Tanto yang kini sudah sampai pada spektrum atom Hidrogen. Namun ternyata sangat sulit, mengingat masih ada hal yang menjadi beban pikirannya. Tak sampai dua menit, perhatiannya tak lagi tertuju pada Pak Tanto…
-0-
Beberapa hari sudah lewat sejak peristiwa malam itu. Jujur saja, sejak kejadian mengejutkan sekaligus menyakitkan tersebut, Rena tak bisa tenang. Batinnya bimbang dan benaknya seperti selalu terbebani oleh sesuatu. Lalu datanglah hari itu..
Handphone Rena berbunyi, dering yang sangat Rena kenal. Dari Fathir! Rena bergegas mengangkatnya.
“Halo…?”
“Halo, Ren…”
Rena tak ingat percakapan apapun setelah itu. Basa – basi biasa yang Rena sudah lupakan. Yang membekas hanyalah satu hal. Jelas dan tegas.
“Ren, aku mau kamu lupakan peristiwa malam itu… Bisa kan?” pinta Fathir, sepertinya setelah banyak pertimbangan.
Rena tak menjawab. Tanpa diminta, air mata meluncuri pipinya. Berlomba – lomba turun, membuat matanya basah dalam waktu singkat.
“Ren? Rena..?”
Sambungan telepon diputus seketika.
Beberapa saat kemudian tangisnya mereda. Ia telah banyak mengambil kesimpulan dalam air mata. Ia telah memantapkan hatinya untuk membuat sebuah keputusan. Keputusan yang sebenarnya tak pernah diinginkannya. Ia lalu menghubungi Fathir balik,
“Halo Ren? Kamu nggak papa kan?” dari suaranya, terdengar Fathir sangat cemas.
“Fathir…”
“Ya?”
“Lupakan aja kita pernah ada. Bisa kan?” pinta Rena. Tegas dan jelas. Ia lalu memutuskan sambungan telepon sebelum Fathir sempat menjawab sepatah kata pun…
-0-
Dering bel mengejutkan Rena. Membuat angan – angannya buyar. Rena seperti baru terbangun dari tidur. Nita mengguncang – guncangkan tubuh Rena, memastikan bahwa temannya itu tidak apa – apa.
“Gue nggak kenapa – kenapa kok, Nit. Ini gara – gara hujan nih, jadi ngantuk banget. Gue nyaris tidur tadi.” ujar Rena seraya mengemaskan buku – bukunya.
“Ya.. kirain aja lo jadi terpesona ngeliatin Pak Tanto. Hahaha…” tukas Nita, lega temannya baik – baik saja.
“Ya nggak lah, asal banget! Lo kali tuh, sampe nggak kedip gitu ngeliatinnya…” Rena balik meledek.
Mereka berjalan keluar kelas sambil tertawa bersama. Saling meledek dan bercanda lalu tertawa lagi. Rena sejenak lupa akan kesedihannya sampai saat tak sengaja matanya menangkap Fathir sedang berjalan dari kejauhan, ada Dian di sisinya.
Rena berhenti tertawa. Ia buru – buru mengalihkan perhatian pada Nita yang menyerocos tentang betapa dinginnya hari ini. Sesekali ia tertawa dan menanggapi temannya yang tak berhenti berceloteh itu.
Diam – diam Rena mencuri pandang ke arah Fathir dan Dian lagi. Hatinya menangis.
Mudah saja bagimu untuk melupakan peristiwa waktu itu…
"Kau tak berhak tanyakan keadaanku
Kau tak berhak tanyakan keadaanku
Mudah saja bagimu
Mudah saja untukmu
Andai saja cintamu seperti cintaku"
***
Malam itu mungkin bisa dikatakan malam paling melankolis bagi Fathir. Pikirannya galau, melayang – layang entah kemana. Beribu kata berkecamuk di kepalanya. Ia telah mencoba berbagai cara untuk menghilangkan perasaan aneh itu, tapi apapun yang ia coba lakukan tampaknya hanya memperburuk perasaannya.
Tak lama ia memutuskan untuk pergi keluar, menghirup udara malam. Ia mengambil kunci motor yang digantungnya di tempat biasa dan bergegas ke garasi. Ketika akan menghidupkan motor, handphonenya berbunyi. Panggilan masuk.
“Kamu lagi apa?” Dian.
“Ga lagi apa – apa kok.” jawabnya pendek.
“Hmm, udah makan?” tanya Dian lagi. Pertanyaan basi! Pikirnya malas.
“Udah. Kamu juga udah kan?”
“Belum nih, belum laper.” jawab Dian dengan nada manja, minta dibujuk.
“Makan gih sana, udah malem gini. Nanti mag kamu kambuh baru deh panik…” setengah hati ia membujuk Dian.
“Iyaa… nanti aku pasti makan kok. Kamu..”
“Dian, udahan dulu ya. Aku ngantuk banget hari ini. Aku pengen tidur…” Fathir memotong perkataan Dian.
“Oh…, gitu ya? Ya udah, kamu tidur aja. Selamat tidur ya. Miss you…”
Fathir terdiam sesaat. Beberapa detik hening, baru ia menjawab. Singkat.
“Miss you too.”
Pembicaraan terputus. Tanpa membuang lebih banyak waktu, ia langsung menghidupkan motornya dan melesat pergi. Sekarang ia sudah tahu harus kemana.
-0-
Pintu dibuka dan keluarlah gadis yang sepertinya jadi alasan kebimbangannya selama ini.
“Fathir?” nyata sekali gadis itu begitu terkejut atas kedatangannya. Ia pun dipersilahkan duduk.
“Ada apa?” dari nada bicaranya, gadis itu terkesan senang.
“Hmm, cuma numpang singgah. Tadi kebetulan lewat sini.” Jawabnya mencoba berbasa – basi.
“You’re not good at lying, you know that?” Ya, gadis yang bernama Rena ini terlalu kenal dia.
“Yeaah, I know. But you know what? I’m missing you that’s why I’m here…” Fathir tidak tahu mengapa kata – kata yang selama ini menggedor – gedor hatinya itu keluar begitu saja. Tapi jujur saja, setelah mengungkapkannya, ia merasa seribu kali lebih baik.
“Hmm, Dian tahu kamu kesini?” senyum Fathir lenyap seketika. Mengapa Rena harus menyinggung nama itu? keluhnya di dalam hati.
“Nggak. Dia nggak tahu.” jawabnya singkat, berharap Rena tak membicarakan Dian lagi.
Tapi ternyata, Rena justru jadi bungkam. Fathir pun semakin resah. Tiba – tiba saja ia merasa harus mengatakan apa yang sebetulnya tak boleh dikatakan.
“Aku.. masih sayang sama kamu, Ren…” ungkapnya perlahan.
“Aku juga sayang kamu. Tapi kamu…, Dian…” Fathir bisa melihat perubahan warna pada raut wajah Rena.
Nama itu lagi! Fathir memaki dalam hati. Pikirannya mendadak kembali kacau. Mereka jadi sama – sama diam. Canggung.
“Kamu nggak bisa putusin dia ya?” Jantung Fathir seperti ditarik paksa. Ia tahu, lama – kelamaan pertanyaan ini akan ditanyakan Rena dan sampai saat ini ia masih tak tahu harus menjawab apa.
“Ini nggak sesimpel kelihatannya, Rena. Aku nggak mau nyakitin siapapun, termasuk Dian…” ia berusaha agar tak terlihat gugup.
“Tapi kalau kayak gini, kamu nyakitin aku….!” nada suara Rena sedikit naik.
“Aku– ah.. Aku nggak bermaksud nyakitin kamu. Aku bingung aku harus gimana. Dian.., dia nggak tahu apa – apa. Aku nggak akan bisa tiba – tiba ninggalin dia. Kamu tau kan posisi aku gimana…” tiba - tiba saja wajah Dian membayanginya. Menghantuinya. Tiba – tiba ia jadi merasa sangat bersalah. Merasa tak seharusnya ini terjadi. Tiba – tiba ia terbayang Dian yang terluka apabila ia tahu tentang semua ini. Ia memang tak punya rasa yang lebih dalam untuk Dian sedalam rasanya pada Rena, tapi ia tetap tak suka perasaan tidak enak apabila ia menyakiti hati siapapun, apalagi Dian yang tak tahu apa – apa. Dian yang tak sengaja terseret dalam kehidupannya.
“Aku mau kamu, Ren. Tapi aku nggak bisa putus dengan Dian gitu aja. Coba kamu yang di posisi Dian. Pasti sakit diputusin tanpa sebab. Kamu nggak salah apa – apa, nggak tau apa – apa tapi hubungan kamu berakhir gitu aja. Nggak adil kan rasanya? Dan lagi, aku harus bilang apa sama Dian? Gimana cara aku ngejelasin ke dia supaya aku bisa putus sama dia? Aku serba salah, Rena…”
Fathir tahu Rena tak akan menerima penjelasannya. Ia menyumpah – nyumpah dirinya sendiri karena telah menyakiti hati gadis yang sangat disayanginya itu. Tapi mau bagaimana lagi, keadaan memaksanya untuk bersikap demikian.
“Hah, sudahlah. Jangan dibahas lagi.” tolak Rena lemah.
Sesungguhnya, Fathir berharap Rena memukuli atau memakinya saja.
Ia melihat jam tangannya, sudah sangat malam. Fathir permisi untuk pulang dengan perasaan tak lebih baik dari seorang pengecut dan pecundang. Ia memandang Rena, mencoba menunjukkan perasaan bersalah dari sorot matanya. Berharap dalam hati semoga Rena tak memutuskan kontak dengannya setelah ini.
“Satu hal,” baru saja Fathir menstarter motornya.
“Apa?” ia menoleh ke Rena dengan cemas.
“Bukan cuma kamu yang rindu. Aku juga…”
Hatinya mendadak berbunga. Ia lantas tersenyum dan pergi. Jauh meninggalkan Rena. Berharap dapat melupakan pancaran lembut matanya. Tapi yang dirasa hanyalah kepahitan.
-0-
Beberapa hari setelahnya, Fathir semakin galau. Namun ia tetap bersikap tak ubahnya pacar yang sempurna bagi Dian. Ia tetap menelepon Dian, menyuruhnya makan, mendengarkan ceritanya dan berbagi cerita sehari – hari sekedarnya. Berkata ‘tidak ada apa – apa’ setiap kali Dian merasa ada kejanggalan dari tingkah lakunya. Fathir jadi merasa semakin bersalah. Ia terkadang mengutuk dirinya sendiri karena tak bisa berterus terang pada Dian dan mengakhiri kepura – puraannya saja. Ia tak bisa, ia terlanjur masuk dalam kehidupan Dian. Ia terlanjur membuat Dian sayang padanya, dan ia tak bisa merusak begitu saja kebahagiaan seseorang, apalagi seseorang itu adalah pacarnya…Lalu hari itu, ia memutuskan untuk menelepon Rena.
“Halo?”
“Halo Ren..”
Basa basi biasa, lalu ia langsung pada inti pembicaraan. Ia tak boleh menunda – nunda lagi. Sebelum ia kembali merasa berat untuk mengatakannya.
“Ren, aku mau kamu lupakan peristiwa malam itu… Bisa kan?” pintanya setelah berkali – kali menghela nafas panjang.
Lama Fathir menunggu reaksi dari Rena, tapi lawan bicaranya di seberang itu tak mengeluarkan sepatah kata pun. Hanya diam.
“Ren? Rena..?” panggilnya. Memastikan komunikasi itu bukanlah komunikasi searah.
Tut.. tut.. tut… Telepon diputus.
Inilah yang Fathir takutkan. Ia telah menyiapkan sejuta argumen dan alasan untuk berbagai tanggapan yang kemungkinan akan dilontarkan Rena. Tapi ia tak punya persiapan apa – apa jika Rena menanggapinya dengan cara seperti ini. Dengan membungkam. Ia ingin menelpon Rena lagi tapi takut panggilannya hanya sia – sia. Ia memutuskan untuk menunggu saja, sambil memikirkan harus berbuat apa ketika tak lama handphonenya berdering. Rena menelponnya balik.
Ragu, dijawabnya telepon dari Rena penuh bimbang, “Halo Ren? Kamu nggak papa kan?”
“Fathir…”
“Ya?”
“Lupakan aja kita pernah ada. Bisa kan?”
Permintaan Rena ini terdengar seperti teriakan skak mat baginya.
-0-
“Kita mau makan dimana?” Dian memandangnya dengan tatapan sayang.
“Hmm, di tempat kemarin juga enak. Terserah kamu sih, kamu lagi pengen makan apa. Aku fleksibel kok.” jawabnya lembut.
“Oke deh. Makan sushi aja ya. Aku lagi ngidam nih.” Dian mencoba bergurau.
“Ngidam? Kayak ibu – ibu hamil aja…” Fathir tertawa kecil, menanggapi gurauan Dian. Ia berusaha menampilkan senyuman termanis. Setelah Dian tak memperhatikannya, ia mengedarkan pandangan ke penjuru sekolah lalu secara spontan memusatkan perhatiannya ke arah kelas Rena. Tanpa sadar, matanya mencari – cari sosok gadis itu. Ia menoleh lagi ke belakang. Melihat Rena yang sedang bersenda gurau dengan Nita. Menikmati cara tertawa Rena yang lepas sambil berharap ia juga dapat tertawa lepas seperti itu tiap kali Dian membuatnya berada di dalam situasi yang mengharuskannya untuk tertawa.
Pikirannya memutar kembali kenangan – kenangan bersama Rena, dan entah mengapa hatinya terasa perih luar biasa.
Mudah saja bagimu menganggap kita tidak pernah ada…
"Mudah saja bagimu
Mudah saja untukmu
Coba saja lukamu seperti lukaku"
(Sheila On 7 - Mudah Saja)
No comments:
Post a Comment
hey, you should leave a trace :D